DigitalOcean Referral Badge

Rabu, 09 Juli 2025

Pohon yang Tumbang, dan Kita yang Terburu-Buru

Alex Citra 2025

Beberapa hari terakhir, linimasa media sosial ramai dengan foto dan video pohon-pohon besar yang tumbang. Di Jakarta, Bandung, Semarang, hingga Makassar. Sebagian menimpa kendaraan, menghancurkan kios kecil, dan bahkan menewaskan pengguna jalan.

DOKUMENTASI BPBD KOTA BOGOR
Hujan deras disertai angin kencang menyebabkan pohon tumbang menimpa sebuah mobil, Senin (2/11/2020). Berdasarkan data BPBD Kota Bogor, empat pohon tumbang masing-masing di Jalan Juanda (Bogor Tengah), Jalan Ahmad Yani (Tanah Sareal), Jalan Dadali (Tanah Sareal), dan di kawasan Tajur (Bogor Selatan)

Hujan disertai angin kencang adalah penyebab langsungnya. Tapi seperti biasa, alam hanya menunjukkan gejala—soal makna, kitalah yang harus membaca.

Setiap kali pohon tua roboh, orang bertanya:
“Kenapa pohonnya tumbang?”
“Kenapa akarnya tak kuat?”
“Kenapa tak ditebang saja sebelum menimpa orang?”

Pertanyaan-pertanyaan yang sah. Tapi sering kali kita lupa bertanya:
“Kenapa kita terlalu sering terburu-buru membangun, tapi jarang memberi ruang akar untuk tumbuh?”


Bukan Salah Pohon Semata

Di banyak kota, pohon ditanam di trotoar yang sempit, dikelilingi beton, dibatasi aspal panas. Akar-akar yang seharusnya menyebar luas dan dalam, terpaksa menggulung diri. Air hujan tak sempat meresap ke dalam tanah—karena semua telah dipaving. Lalu ketika badai datang, pohon terayun, tak punya pegangan, lalu roboh.

Bukan karena lemah. Tapi karena tak diberi ruang.

Itu bukan hanya tentang pepohonan. Itu juga tentang kita.


Membaca Angin, Menakar Diri

Banyak dari kita hidup seperti pohon kota: 
Ditekan dari segala arah, dituntut bertumbuh cepat, diminta hasil tanpa sempat memupuk akar. Pendidikan yang buru-buru. Pekerjaan yang mengejar target. Informasi yang serba instan. Tapi sedikit ruang untuk bernapas, apalagi merenung. 

Cuaca ekstrem seperti angin puting beliung dan hujan deras seharusnya jadi alarm—bukan hanya tentang perubahan iklim, tapi juga tentang ritme hidup yang semakin kita lupakan: bahwa kekuatan bukan hanya soal tinggi menjulang, tapi dalamnya keterhubungan dengan bumi.


Melek Iklim, Melek Diri

Perubahan iklim bukan sekadar fenomena sains yang jauh di kutub utara. Ia adalah realitas yang datang lewat pohon tumbang di depan rumah, genangan di tempat kerja, dan panas terik yang tak lagi bisa ditawar.

Maka, seperti halnya kita belajar memahami jenis awan, membaca indeks UV, dan menyimak prakiraan cuaca ekstrem dari BMKG, mungkin kita juga perlu belajar memahami tanda-tanda dalam hidup sendiri:

  • Kapan harus berakar, bukan sekadar tumbuh.

  • Kapan harus berteduh, bukan terus berlari.

  • Kapan harus mendengar angin, bukan melawannya.


Kita Bisa Menjadi Penjaga, Bukan Korban

Bayangkan jika kota ini menanam pohon sambil memberi tanah luas untuk akarnya. Jika sekolah mengajarkan pentingnya satu pohon tua di pinggir jalan. Jika berita tak hanya mengabarkan korban pohon tumbang, tapi juga mengulas penyebab ekosistemnya yang rusak.

Bayangkan jika kita berhenti memusuhi hujan, dan mulai bertanya: apa yang bisa kita ubah dalam cara hidup kita agar bumi tak terus mengirim peringatan lewat bencana?


Akar Itu Perlu Waktu, dan Kita Perlu Kesabaran

Karena bukan hanya pohon yang butuh akar. Kita pun begitu. Dan dalam dunia yang terus dipacu untuk cepat, barangkali akar adalah satu-satunya hal yang membuat kita tetap bertahan saat badai datang.

Pohon tumbang bisa tumbuh lagi,
asal diberi ruang.
Kita pun demikian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Pohon yang Tumbang, dan Kita yang Terburu-Buru

Alex Citra 2025 Beberapa hari terakhir, linimasa media sosial ramai dengan foto dan video pohon-pohon besar yang tumbang. Di Jakarta, Bandun...

Chiba University, Japan

Chiba University, Japan