Alex Citra 2025
Untuk memahami mengapa suatu daerah bisa tergenang saat hujan lebat, kita harus menelusuri hubungan antara air hujan, bentuk lahan, tutupan tanah (land cover), dan bagaimana manusia menata ruangnya. Inilah inti dari dinamika hidrologi dan tata ruang di Indonesia.
Pendahuluan
Di banyak kota Indonesia, hujan deras
seringkali langsung dikaitkan dengan banjir. Namun kenyataannya, tidak semua
hujan lebat menyebabkan genangan atau luapan air yang mengganggu. Di beberapa
tempat, hujan dengan intensitas tinggi bisa turun selama berjam-jam tanpa
menimbulkan masalah serius. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting adalah, apa yang
membedakan hujan yang biasa dengan hujan yang dapat berujung dengan terjadinya bencana?
Artikel ini akan membahas berbagai faktor yang
memengaruhi respons suatu wilayah terhadap hujan deras, mulai dari
karakteristik fisik lahan, kondisi hidrologi, hingga pengaruh aktivitas
manusia. Dengan memahami keterkaitan antara elemen-elemen tersebut, kita bisa
memperoleh gambaran lebih jelas mengapa beberapa wilayah tetap kering meski
diguyur hujan, sementara lainnya langsung tergenang.
1.
Karakteristik Curah Hujan
Curah hujan memiliki beberapa dimensi penting
yang memengaruhi kemungkinan terjadinya banjir. Tidak cukup hanya melihat
apakah hujan deras atau tidak—harus dianalisis berapa deras, seberapa lama,
di mana lokasinya, dan seberapa sering terjadi.
Parameter |
Penjelasan & Contoh |
Pengaruh terhadap Potensi Banjir |
Intensitas (mm/jam) |
Merupakan jumlah air hujan yang jatuh dalam satu jam. Contoh: hujan
dengan intensitas 100 mm/jam dapat memenuhi jalanan kota dalam waktu singkat
jika tidak ada sistem drainase memadai. |
Semakin tinggi intensitas, semakin besar debit air permukaan yang
harus ditampung dalam waktu singkat. Ini menambah tekanan pada sistem
drainase dan DAS. |
Durasi |
Durasi menentukan akumulasi total hujan. 20 mm dalam 30 menit ≠ 20 mm
dalam 3 jam. Contoh: hujan ringan tapi terus-menerus 6 jam bisa menyebabkan
saturasi tanah. |
Durasi lama meningkatkan kemungkinan tanah jenuh dan sistem aliran
permukaan menjadi tidak mampu menampung. |
Sebaran Spasial |
Merujuk pada wilayah jatuhnya hujan. Contoh: hujan lebat di Bogor
(hulu Ciliwung) dapat menyebabkan banjir di Jakarta (hilir) meski tidak hujan
di Jakarta. |
Hujan di wilayah hulu sungai sering lebih kritis karena berkontribusi
terhadap debit sungai besar di hilir. |
Frekuensi |
Berapa kali hujan terjadi dalam waktu dekat. Contoh: hujan selama 3
hari berturut-turut menyebabkan tanah jenuh sebelum hujan berikutnya datang. |
Hujan yang terlalu sering menyebabkan tanah tidak punya waktu untuk
mengering, memperbesar potensi runoff. |
a.
Infiltrasi & Permeabilitas Tanah
▪ Tekstur
Tanah
Tekstur tanah menunjukkan ukuran partikel
tanah dan memengaruhi ukuran pori-pori tanah yang sangat penting dalam
menentukan kecepatan infiltrasi.
- Tanah berpasir:
- Memiliki pori-pori besar antar butirannya.
- Air cepat masuk ke bawah permukaan → infiltrasi tinggi.
- Umumnya ditemukan di daerah pantai atau bukit berpasir.
- Risiko banjir permukaan rendah, tetapi bisa menyebabkan kekeringan
jika air cepat hilang.
- Tanah lempung atau liat:
- Pori-pori sangat kecil dan rapat → infiltrasi lambat.
- Air cenderung tertahan di permukaan dan bisa menggenang jika
jumlah hujan besar.
- Umum di daerah sawah, pemukiman bekas rawa, atau delta sungai.
▪ Kedalaman
Air Tanah (Akuifer)
- Jika lapisan air tanah (akuifer) dangkal dan sudah jenuh, maka air
permukaan tidak bisa lagi masuk ke dalam tanah.
- Ini terjadi misalnya saat musim hujan panjang atau hujan berulang
dalam waktu singkat.
- Akibatnya, air mengalir ke permukaan atau tergenang, meningkatkan
risiko banjir.
Kesimpulan: Semakin
permeabel tanah dan semakin dalam air tanahnya, semakin kecil potensi banjir
permukaan.
b.
Kemiringan & Morfologi Lahan
▪ Lereng
Curam
- Air hujan pada lereng curam tidak sempat menyerap dan langsung
mengalir ke bawah dengan kecepatan tinggi.
- Akibatnya: potensi banjir bandang di bagian hilir jika
jumlah air besar.
- Lereng curam umumnya tidak mengalami genangan lokal, tetapi memberi
tekanan besar pada DAS hilir.
- Contoh: Lereng Gunung Merapi ke arah Kali Code di Yogyakarta.
▪ Dataran
Rendah
- Air bergerak lambat dan butuh waktu lebih lama untuk mengalir ke
sungai utama.
- Jika permukaan tanah tidak menyerap air dengan baik, akan terjadi genangan
berkepanjangan.
- Dataran seperti ini umumnya berada di wilayah delta, rawa, atau
dataran pesisir.
- Contoh: Dataran pantai utara Jakarta yang rentan banjir rob dan
genangan hujan.
Catatan: Morfologi
datar ditambah saluran air buruk = kombinasi paling rentan terhadap banjir
permukaan.
c. Vegetasi
& Penutup Lahan
▪ Vegetasi
Alami (Hutan, Semak, Perkebunan)
- Kanopi vegetasi menyerap sebagian besar tetesan hujan sebelum
mencapai tanah → intersepsi.
- Akar tanaman membuat struktur tanah lebih gembur, meningkatkan
infiltrasi.
- Sisa air yang tetap mengalir ke permukaan diperlambat oleh lapisan
organik dan topografi alami.
- Contoh: Hutan hujan di Kalimantan membantu menahan limpasan hujan
deras.
▪ Lahan
Terbangun (Aspal, Beton, Perumahan)
- Permukaan kedap air (impervious) seperti aspal dan beton membuat
infiltrasi hampir nol.
- Sebagian besar hujan langsung menjadi run-off (>70%) dan
mengalir ke saluran atau jalan.
- Jika saluran tidak cukup besar atau tersumbat, air meluber dan
menyebabkan banjir lokal.
- Contoh: Kawasan bisnis di pusat kota besar dengan sedikit ruang
hijau.
Solusi: Konsep kota
spons (sponge city) berupaya menambah ruang resapan seperti taman hujan,
trotoar berpori, dan sumur resapan.
3 Kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS)
Karakter DAS—mulai dari hulu hingga
hilir—menjadi penentu utama apakah limpasan hujan akan tiba di sungai secara
terkendali atau tiba‑tiba meluap ke permukiman. Tiga aspek kunci yang harus
diperhatikan adalah kapasitas fisik sungai, pengelolaan
bendung & waduk, serta konektivitas sistem drainase.
3.1 Kapasitas Sungai & Anak Sungai
Komponen |
Detail |
Dampak terhadap Banjir |
Kedalaman & Penampang |
Sungai yang dikeruk teratur memiliki penampang hidraulik besar
sehingga debit puncak dapat dialirkan tanpa meluap. Pendangkalan
(sedimentasi) mengecilkan penampang dan menaikkan muka air dengan cepat. |
Pendangkalan 20–30 cm saja di segmen kritis bisa mengurangi kapasitas
>10 %. |
Lebar & Meander |
Sungai berkelok (meander) alami cenderung memperlambat aliran: baik
untuk deselerasi banjir bandang di hulu tetapi dapat menumpuk sedimen di
tikungan. Pelurusan (channelization) menambah kecepatan aliran—mengurangi
genangan di hulu tapi berisiko banjir di hilir. |
Penataan kelokan harus mempertimbangkan distribusi debit antara
hulu–hilir, bukan hanya area setempat. |
Rasio Anak Sungai |
Banyaknya anak sungai (tributary density) memengaruhi konsentrasi
aliran. Jika beberapa anak sungai mengonvergen dalam waktu bersamaan, puncak
debit bisa melonjak. |
Perlu pemantauan sinkronisasi debit dan early‑warning antar‑sub‑catchment. |
Kondisi Tanggul & Tebing |
Tanggul yang retak atau vegetasi lebat yang tak terawat dapat runtuh
saat debit tinggi. |
Runtuhnya tebing menyebabkan sedimentasi mendadak serta menurunkan
kapasitas sungai. |
3.2 Manajemen Bendung & Waduk
Aspek Operasional |
Penjelasan |
Contoh & Best Practice |
Volume Tampungan Efektif |
Waduk dirancang memiliki “flood storage” (ruang kosong) khusus untuk
menahan debit puncak. Ketika waduk sudah pada level tinggi karena keperluan
irigasi/pasokan listrik, kapasitas menahan banjir menurun. |
Waduk Jatiluhur menyiapkan ± 200 juta m³ ruang banjir; level buka‑tutup
pintu diatur dengan SOP harian & prakiraan cuaca. |
Timing Pelepasan |
Pelepasan air (spillage) yang terlalu cepat sebelum hujan reda justru
memperbesar debit hilir. Sebaliknya, pelepasan terlalu lambat mengancam
keamanan bendungan. |
Sistem telemetri debit–curah hujan real‑time + prakiraan ENSO membantu
operator memutuskan kapan membuka pintu. |
Koordinasi Multi‑Bendungan |
Pada DAS besar, beberapa waduk berantai (cascade reservoirs) harus
dioperasikan terkoordinasi agar tidak “domino” menaikkan debit. |
DAS Citarum: Saguling → Cirata → Jatiluhur. Skema rule‑curve ditinjau
ulang setiap 5 tahun. |
Pemeliharaan Infrastruktur |
Perlu inspeksi rutin spillway, pintu intake, dan sensor level.
Korosi/abrasi dapat mengurangi kapasitas bukaan pintu sehingga pelepasan
tidak optimal. |
Kasus Waduk Situ Gintung (2009) menunjukkan pentingnya inspeksi
tanggul‑urugan & spillway darurat. |
3.3 Konektivitas
Drainase (Urban & Agraris)
Lapisan Sistem |
Contoh Elemen |
Isu Umum |
Konsekuensi |
Primer (sungai utama, kanal besar) |
Kanal Banjir Timur/Barat Jakarta |
Pendangkalan, sampah terapung, terhalang jembatan rendah |
Air balik ke saluran sekunder; genangan luas meski sungai tampak
“penuh tapi masih di bantaran”. |
Sekunder (anak sungai, saluran irigasi) |
Kali Pesanggrahan, Kali Krukut |
Tersumbat sampah domestik & limbah pasar |
Kapasitas menyempit >30 %, mempercepat limpasan ke jalan. |
Tersier & Mikro (gorong‑gorong,
culvert, parit tepi jalan) |
Slab beton perumahan, crossing jalan |
Sedimentasi lumpur, penerobosan bangunan, talang rusak |
Air hujan di permukaan gagal masuk jaringan utama → genangan lokal. |
Pompa & Pintu Air |
Stasiun Pompa Ancol, polder Semarang |
Pompa mati saat listrik padam, debris menyumbat impeller |
Banjir rob + hujan tak terpompa keluar; “backwater effect”. |
Faktor Penghubung
- Sampah: 1 m³ sampah plastik/organik bisa
menurunkan kapasitas gorong‑gorong Ø 1 m (dibaca: diameter) hingga >70 %.
- Pasang Surut Laut: Pada
kota pesisir, pintu air tidak dapat dibuka saat pasang, sehingga drainase
hilir tertahan.
- Perataan Elevasi:
Perubahan elevasi jalan (mis. jalan tol layang) tanpa desain saluran
samping memblokir jalur air lama.
🔧 Langkah
Strategis
- Re‑profiling Sungai di
segmen sedimentasi tinggi: pengerukan terjadwal + vegetasi riparian tahan
erosi.
- Advanced Reservoir Operation
dengan model prakiraan curah hujan (radar & satelit) untuk
memaksimalkan flood‑storage.
- Integrated Drainage Masterplan:
sinergi saluran mikro–makro, sumur resapan, trotoar berpori, serta sensor
ketinggian air IoT.
- Program “Zero Waste to River”:
insentif ekonomi daur ulang + penegakan hukum untuk pembuang sampah
ilegal.
- Floodplain Zoning:
melarang pembangunan permanen di dataran banjir 20‑tahunan; memanfaatkan
area tersebut sebagai taman kota atau lapangan olahraga yang bisa
tergenang sementara.
Dengan menjaga kapasitas sungai,
mengoperasikan bendungan secara adaptif, dan memastikan drainase
tetap tersambung hingga titik pembuangan akhir, risiko banjir dapat ditekan
signifikan walau curah hujan tinggi.
4 Faktor Antropogenik
– Ketika Pilihan Manusia Menentukan Nasib Air
Tak semua banjir lahir dari proses alam;
sering kali kitalah—melalui tata ruang, kebiasaan, dan teknologi—yang membuka
pintu air ke rumah sendiri. Lima praktik berikut adalah “biang keladi” paling
umum, lengkap dengan mekanisme, contoh nyata, dan langkah perbaikannya.
Praktik |
Bagaimana Terjadi? |
Dampak Langsung |
Contoh Kasus & Angka |
Solusi Ringkas |
Alih Fungsi Lahan (ruang
hijau → terbangun) |
Beton & aspal menutup pori tanah, koefisien limpasan melonjak dari
±10 % (rumput) ke >70 % (paving). |
Debit puncak naik, periode konsentrasi lebih singkat—sungai kelebihan
beban. |
Jakarta kehilangan ±18 % RTH 2000‑2024; satu hujan lebat 2020 catat
+40 % limpasan dibanding 1990. |
Zoning koefisien tapak; trotoar permeabel;
insentif atap hijau. |
Penimbunan Rawa / Polder |
Rawa adalah “buffer” alami; ketika ditimbun, air kehilangan kolam
parkirnya. |
Air mencari tempat baru: jalan & permukiman terendah. |
Reklamasi Semarang 1970‑an menghilangkan 66 % rawa pesisir; rob +
hujan setinggi lutut tiap musim penghujan. |
Konversi rawa jadi retention pond terintegrasi; larangan timbun
di elevasi < +2 m MDPL. |
Krisis Ruang Terbuka Hijau (RTH) |
RTH < 10 m²/jiwa membuat tanah resapan minim; evapotranspirasi
turun drastis. |
Volume air limpasan bertahan lama, suhu perkotaan (UHI) naik → hujan
lokal lebih intens. |
Surabaya naikkan RTH ke 21 %, banjir tahunan turun 33 % (data DLH
2023). |
Target RTH ≥ 30 % di RTRW + koridor hijau sungai min. 20 m. |
Sistem Drainase Usang |
Desain era 1970‑an untuk hujan 50 mm/h; kini hujan ekstrem bisa
120 mm/h. |
Saluran mikro penuh, air melimpah ke jalan sebelum mencapai sungai. |
Gorong‑gorong Ø 60 cm (standar lama) “drop capacity” hingga 60 % saat
hujan 100 mm/h. |
Masterplan drainase adaptif; culvert Ø > 1 m;
sensor level IoT + pemetaan 3D. |
Tumpukan Sampah di Sungai |
Plastik & organik membentuk debris dam; lebar hidraulik
menyempit hingga 80 %. |
Aliran melambat, muka air naik; potensi banjir mendadak saat bendungan
sampah jebol. |
Kali Pisang Batu, Bekasi: 160 ton sampah/hari, tinggi air naik 1,2 m
(2018). |
Zero Waste to River; bank
sampah insentif; sekat sungai dilengkapi trash boom otomatis. |
🔍 Mengapa
Ini Penting?
- Efek Domino: Satu
praktik buruk (mis. penimbunan rawa) memaksa drainase bekerja lebih keras,
sementara sampah menurunkan kapasitasnya—banjir jadi tak terelakkan.
- Ekonomi Tersembunyi:
Biaya kerusakan banjir Jakarta 2020 diperkirakan Rp 5,3 triliun; mitigasi
RTH & drainase hanya butuh ±15 % dari angka tersebut.
- Keadilan Spasial:
Kelompok berpendapatan rendah kerap tinggal di dataran terendah, menerima
“air limpahan” keputusan tata ruang kelas atas.
💡 Aksi Nyata
yang Bisa Dimulai
- Audit Koefisien Limpasan di
lingkungan sekolah/kampus; identifikasi lahan yang bisa di-“spons”‑kan.
- Komunitas Adopsi Sungai:
rutin bersih‑bersih + dashboard debit daring (pakai sensor murah Raspberry
Pi).
- Kampanye “1 Rumah = 1 Sumur Resapan”—kedalaman 3 m mampu meresap ±7 m³ hujan ekstrem, setara 280 ember!
- Dorong Revisi RTRW:
hadir di forum publik; suarakan perlindungan rawa & koridor hijau.
Intinya: Hujan
memang tidak bisa kita kendalikan, tapi jalur perjalanan air sepenuhnya
keputusan manusia. Dengan perencanaan cerdas dan partisipasi kolektif, hujan
deras tak harus berujung petaka.
5. Contoh Kasus: Hujan 100 mm di Tiga Kota (Bogor, Depok, Jakarta)
Kota |
Profil Wilayah |
Dampak Hujan 100 mm/6 jam |
Bogor (Hulu DAS Ciliwung) |
- Dataran tinggi bergelombang - Tanah vulkanik muda, permeabilitas tinggi - Banyak ruang terbuka & kawasan konservasi |
Infiltrasi cepat, genangan nyaris tidak terjadi. Namun debit air
mengalir deras ke sungai dan berpotensi memicu banjir di hilir
(Depok–Jakarta) dalam waktu 3–6 jam. |
Depok (Tengah DAS Ciliwung) |
- Urbanisasi pesat, 40–60% lahan terbangun - Banyak pemukiman di bantaran - Saluran drainase sekunder belum terintegrasi |
Terjadi genangan lokal di permukiman padat dan jalan protokol.
Sungai Ciliwung mulai meninggi, terutama di segmen yang menyempit atau penuh
sedimentasi. Resiko banjir ringan hingga sedang di beberapa titik. |
Jakarta (Hilir DAS Ciliwung & Pesanggrahan) |
- Dataran sangat rendah (0–5 mdpl) - Drainase kota padat & sering tersumbat - Terdampak pasang laut (rob) |
Genangan parah di beberapa wilayah utara & tengah kota. Jika
berbarengan dengan air kiriman dari hulu dan pasang laut tinggi, banjir
dapat bertahan >12 jam. Sistem pompa harus bekerja penuh dan sering
kewalahan. |
📌 Catatan
Analisis Geografis
- Bogor: meski aman secara lokal, justru menjadi
"kontributor debit" yang menentukan nasib kota di hilir.
- Depok: wilayah transisi; dampak tergantung
manajemen drainase lokal dan kemampuan DAS menerima beban air.
- Jakarta: titik paling rawan karena berada di hilir, diapit oleh tekanan dari atas (air kiriman) dan bawah (pasang laut).
6.
Bagaimana Meminimalkan Risiko Banjir?
- Perencanaan Tata Ruang Berbasis DAS
- Batasi impervious surface < 40 % di sub‑catchment
kritis.
- Penerapan Sistem Drainase Berkelanjutan (SUDS)
- Biopore, taman hujan (rain‑garden),
sumur resapan.
- Rehabilitasi Riparian & Mangrove
- Restorasi vegetasi bantaran dan pesisir.
- Early‐Warning System
- Sensor hujan & ketinggian air terintegrasi aplikasi ponsel.
- Pendidikan & Partisipasi Publik
- Kampanye “Jangan buang sampah ke sungai”, kerja bakti rutin.
Kesimpulan
Hujan deras hanyalah salah satu elemen dalam
“persamaan banjir”. Tanah, topografi, penutup lahan, kesehatan sungai, bahkan
pasang surut laut bersama‐sama menentukan apakah air akan menggenang. Dengan
memahami faktor tersebut, pemerintah dan masyarakat bisa merancang solusi:
menjaga tutupan vegetasi, memperbaiki drainase, serta menerapkan konsep kota
spons (sponge city) agar hujan deras tidak otomatis berarti banjir.
* Action Point untuk Siswa/Mahasiswa Pembaca PortalGeograf:
A. Observasi lingkungan kampus/sekolah sekitar setelah hujan di mana air terkumpul !
B. Hitunglah koefisien limpasan di lingkungan kampus/sekolah sebagai proyek mini !
Berikut caranya:
Proyek menghitung koefisien limpasan (C)
di lingkungan sekolah sangat cocok untuk pelajaran Geografi, Fisika Lingkungan,
atau proyek aksi iklim siswa. Proyek ini sederhana namun edukatif karena
mengajarkan keterkaitan antara tata guna lahan, drainase, dan potensi banjir.
Berikut panduan langkah demi langkahnya:
💧 Apa itu
Koefisien Limpasan (C)?
Koefisien limpasan adalah angka antara 0 dan 1
yang menunjukkan berapa besar air hujan yang langsung mengalir di permukaan
(runoff), dan berapa banyak yang meresap ke dalam tanah.
Langkah-Langkah
Menghitung Koefisien Limpasan di Lingkungan Kampus/Sekolah
1. Tentukan
Area Pengamatan
Pilih lokasi yang cukup luas dan
beragam—misalnya seluruh halaman sekolah, area parkir, lapangan, taman, atap
bangunan, dll.
2. Buat
Peta Lahan Sederhana
Gambarlah denah area sekolah, lalu bagi ke
dalam beberapa jenis permukaan:
- Aspal/beton (parkiran, jalan)
- Tanah kosong/taman
- Lapangan rumput
- Atap bangunan
- Paving block
- Kebun/vegetasi rapat
3. Ukur
Luas Masing-Masing Jenis Permukaan (dalam m²)
- Atap sekolah = 400 m²
- Lapangan rumput = 300 m²
- Jalan beton = 200 m²
- Taman = 100 m²
4. Gunakan Tabel Nilai C dari Literatur
📚 Referensi
Nilai C (Koefisien Limpasan)
- Direktorat Jenderal Bina Marga (1990)
- Jalan beton/asphalt & area perkotaan: 0,70–0,95
- Paving block: 0,50–0,70
- Taman, kebun, dan area terbuka: 0,20–0,40 konsultasiskripsi.com+9kumpulengineer.com+9researchgate.net+9researchgate.net+1text-id.123dok.com+1
- Suripin (2004) dalam
Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan (dikutip pada
Universitas Sumatera Utara, 2023):
- Beton/asphal: 0,70–0,95
- Paving block: 0,50–0,70
- Atap: 0,75–0,95
- Halaman tanah berpasir (datar/min. 2 %): 0,05–0,10
- Halaman tanah berat (datar 2 %): 0,13–0,17
- Taman & kuburan: 0,10–0,25
- Hutan datar (0–5 % lereng): 0,10–0,40 text-id.123dok.com+3text-id.123dok.com+3seputargeografi.com+3reddit.comseputargeografi.com+7pdfcoffee.com+7text-id.123dok.com+7researchgate.net+1seputargeografi.com+1
- Widhi K. A. (2019)
mencantumkan rentang C pada penggunaan lahan:
- Padang rumput berpasir: 0,05–0,25
- Permukiman padat: 0,40–0,60, rumah tinggal tunggal: 0,30–0,50
researchgate.net+3seputargeografi.com+3kumpulengineer.com+3
- Agustono et al. (2023) –
studi grass block paving:
- Tanah bertekstur sandy loam: ≈ 0,41
- Grass block paving: ≈ 0,43
- Paving tak permeabel: 0,50–0,70 reddit.com+12researchgate.net+12researchgate.net+12
- NRCS Curve Number (CN) dari
USDA:
- Asphalt/roof/road: CN ≈ 98 → konversi ⇒ C ≈ 0,98
- Pasture/grass good condition: CN ≈ 39 (untuk soil group A) → C
≈ 0,39 en.wikipedia.orgde.scribd.com+4text-id.123dok.com+4reddit.com+4
Ringkasan
Nilai C Berdasarkan Literatur
Permukaan |
Nilai C (rentang umum) |
Beton / Aspal |
0,70 – 0,95 |
Atap Bangunan |
0,75 – 0,95 |
Paving Block |
0,50 – 0,70 |
Grass Block Paving |
≈ 0,43 |
Tanah Berumput |
0,10 – 0,40 |
Taman / Kebun |
0,10 – 0,40 |
Tanah Berpasir (datar) |
0,05 – 0,15 |
Tanah Berat (datar) |
0,13 – 0,22 |
Hutan Datar |
0,10 – 0,40 |
Permukiman Padat |
0,40 – 0,60 |
Industri / Gudang |
0,50 – 0,90 |
⚠️ Catatan:
- Rentang nilai C bervariasi tergantung: jenis material,
permeabilitas tanah, topografi (lereng), kondisi vegetasi, serta kepadatan
dan rataan lahan.
- Untuk analisis konservatif dalam perencanaan drainase, gunakan
nilai maksimum dari rentang.
- Metode Curve Number (CN) dari USDA juga bisa diterapkan untuk
pendekatan yang lebih ilmiah, terutama saat data soil group tersedia.
5. Hitung Koefisien Total (Ctotal)
Gunakan rumus rata-rata tertimbang:
Contoh Perhitungan:
Komponen |
Luas (m²) |
C |
Luas × C |
Atap Sekolah |
400 |
0,85 |
340 |
Lapangan Rumput |
300 |
0,20 |
60 |
Jalan Beton |
200 |
0,90 |
180 |
Taman |
100 |
0,25 |
25 |
Total |
1000 |
605 |
Artinya, sekitar 60,5% air hujan langsung
mengalir ke permukaan, sisanya meresap.
🎓 Kesimpulan
& Refleksi
- Bandingkan hasil antar kelas atau antar zona sekolah.
- Tanyakan: Apakah angka ini terlalu tinggi? Haruskah diturunkan?
Bagaimana caranya?
- Siswa bisa mengusulkan penambahan sumur resapan, taman air,
atau penggunaan paving block.
📊 Output
Proyek
- Diagram peta zonasi C
- Grafik batang: luas vs. kontribusi limpasan
- Simulasi curah hujan 100 mm: berapa m³ air yang jadi limpasan?
C. Diskusi kelas: Langkah prioritas apa yang paling realistis diterapkan di lingkungan sekolah/kampus dan juga ruang kota tempat tinggal kita ? Berikan penjelasan !
Sumber Referensi
Suripin. (2004). Sistem
Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. Yogyakarta: ANDI Offset.
Triatmodjo, B. (2008). Hidrologi
Terapan. Yogyakarta: Beta Offset.
Chow, V. T., Maidment, D. R., &
Mays, L. W. (1988). Applied
Hydrology. New York: McGraw-Hill.
Soemarto, R. N. (1999). Hidrologi
Teknik. Jakarta: Erlangga.
Direktorat Jenderal Bina Marga.
(1990). Manual
Drainase Jalan. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat. (2020). Pedoman
Perencanaan Sistem Drainase Perkotaan. Jakarta: Direktorat Jenderal Cipta
Karya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.