Minggu, 29 Juni 2025

🌊 Perubahan Iklim: Apakah Indonesia Aman dari Kenaikan Muka Laut

Oleh: Alex Citra 2025

Ketika Laut Perlahan Naik, Daratan Perlahan Hilang

Coba kita membayangkan di suatu pagi ketika kita berdiri di pesisir utara Jakarta. Udara lembap, aroma asin laut bercampur bau tanah yang basah menyelinap masuk lewat celah-celah jendela ataupun pintu. Belum sempurna terangnya langit, tetapi jejak pasang laut sudah lebih dulu datang menyusuri jalan-jalan kecil, menggenangi pelataran rumah, diam-diam meresap ke akar pohon dan pondasi bangunan. Genangan air itu tampak tenang, nyaris seperti cermin. Tapi kita jangan tertipu oleh ketenangannya — air itu membawa pesan yang sunyi tapi serius: daratan sedang perlahan kalah oleh lautan.

Di suatu kota yang dahulunya dibangun di atas rawa-rawa dan tambak, batas antara laut dan daratan kini semakin kabur. Tak ada badai. Tak ada hujan. Tapi jalan-jalan tergenang. Penduduk setempat menyebutnya "air rob", air pasang yang naik ke daratan. Dulu ia datang sesekali dalam satu tahun. Kini, ia bisa datang setiap bulan — bahkan mungkin bisa setiap minggu.

Di beberapa titik, jalanan tak lagi tampak di peta, melainkan berubah menjadi kanal-kanal permanen, tempat anak-anak bermain rakit dari styrofoam, atau warga tua menyebrang dengan sepatu bot yang tak pernah kering. Bangunan yang dulunya berdiri gagah kini tampak seperti pulau-pulau kecil di lautan mini yang tak kunjung surut. Beberapa rumah sudah ditinggalkan, dibiarkan hancur pelan-pelan oleh kelembaban, jamur, dan karat.

Fenomena ini tak hanya terjadi di Jakarta. Di sepanjang pesisir utara Pulau Jawa — dari Cirebon, Demak, hingga Gresik — tanah daratan menyusut sentimeter demi sentimeter setiap tahun, sementara permukaan laut terus naik. Peta topografi yang ada kini mulai berbeda dari kenyataan (fakta) di lapangan. Lebih dari sekadar perubahan visual, ini adalah perubahan eksistensial. Tanah yang dulu diwariskan antargenerasi kini berubah menjadi air yang tak bisa diwariskan. Sawah menjadi rawa asin. Jalan menjadi sungai. Masjid yang dulunya jadi titik kumpul warga kini hanya bisa diakses saat air surut dan bahkan sudah tidak dapat digunakan kembali.

Dan apa yang paling mengejutkan? Semua ini terjadi tanpa gemuruh, tanpa peringatan. Seperti bisikan air yang terus mengalir, perlahan tapi pasti menandai hilangnya daratan — selapis demi selapis — dari peta Indonesia.


📍 Apa Itu Kenaikan Muka Laut?

Kenaikan muka laut (sea level rise) adalah gejala global yang kini kian nyata terasa di berbagai pesisir dunia, termasuk Indonesia. Fenomena ini terjadi karena dua penyebab utama yang saling memperkuat: mencairnya es di kutub dan gletser, serta pemuaian termal air laut akibat peningkatan suhu bumi. Saat lapisan es di Greenland, Antarktika, dan pegunungan-pegunungan tinggi mencair, air yang selama ribuan tahun tersimpan dalam bentuk padat itu mengalir ke laut, menambah volume air secara permanen. Di sisi lain, laut yang terus menyerap panas dari atmosfer—karena lebih dari 90% pemanasan global diserap oleh laut—mengalami pemuaian. Semakin hangat air laut, semakin besar volumenya, dan semakin tinggi permukaan laut.

Bongkahan es mencair di Ilulissat Icefjord, Greeland. Nationalgeographic.co.id

Menurut data Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), permukaan laut global telah meningkat sekitar 20 cm sejak awal abad ke-20. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah kecepatan perubahannya yang terjadi. Jika pada awal abad 20 laju kenaikan hanya sekitar 1–2 mm tiap tahun, maka sejak 1990-an laju tersebut melonjak hingga lebih dari 4 mm tiap tahunnya. Artinya, dalam rentang waktu yang relatif sangat singkat, bumi telah mempercepat laju kehilangan daratannya. Jika tren ini berlanjut tanpa intervensi, skenario paling pesimistis memperkirakan muka laut dapat naik hingga 1 meter pada akhir abad ini. Bagi negara kepulauan seperti Indonesia, hal ini bukan sekadar prediksi ilmiah, tetapi alarm bahaya bagi jutaan orang yang tinggal di dataran rendah pesisir, termasuk Jakarta, Semarang, Belawan, hingga kawasan Delta Mahakam.

Kenaikan muka laut bukan hanya ancaman terhadap fisik daratan, tetapi juga terhadap sistem sosial dan ekonomi yang menopang kehidupan di sekitarnya. Air laut yang merangsek masuk perlahan mengubah ekosistem, mencemari air tanah, menurunkan hasil panen, mempercepat erosi pantai, dan menggusur komunitas yang bergantung pada pesisir. Ini adalah krisis yang datang perlahan, tanpa suara gemuruh atau badai besar—tetapi dengan konsekuensi yang dapat mengguncang fondasi kehidupan jutaan orang.


🧭 Bagaimana Dampaknya bagi Indonesia?

Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, menjadi salah satu wilayah yang paling rentan terhadap dampak langsung kenaikan muka laut. Dataran-dataran rendah di pesisir utara Jakarta, Semarang, Surabaya bagian timur, hingga wilayah pesisir Aceh, Kalimantan Barat, dan Papua Selatan, kini perlahan-lahan mulai kehilangan garis pantainya. Tanpa perlindungan yang memadai seperti tanggul atau sabuk hijau mangrove, wilayah-wilayah ini semakin sering tergenang. Bahkan, menurut prediksi para ahli, lebih dari 2.000 pulau kecil di Indonesia dapat hilang dari peta sebelum tahun 2050 jika tren ini tak segera dikendalikan. 

Prof. Heri Andreas seorang pakar geodesi dari ITB, mengingatkan bahwa  bahwa wilayah pesisir seperti Pekalongan, Semarang, dan Demak bahkan lebih cepat mengalami penurunan muka tanah, dengan laju antara 15–20 cm per tahun. Ia menegaskan bahwa tanpa intervensi (tanggul, pompa, konservasi mangrove), beberapa wilayah pesisir bisa “ditelan” laut.

Salah satu dampak paling mengganggu adalah masuknya air asin ke daratan, dikenal sebagai intrusi air laut. Fenomena ini menyebabkan air tanah dan sungai yang dulunya segar kini menjadi payau. Di Indramayu dan Demak, para petani mengeluh karena air sumur tak lagi layak untuk irigasi dan konsumsi. Banyak dari mereka akhirnya mengubah lahan sawah menjadi tambak ikan atau udang, bukan karena pilihan strategis, tetapi sebagai bentuk adaptasi paksa terhadap perubahan yang tak bisa mereka kendalikan. Intrusi air asin juga memperparah kerusakan lingkungan dan menurunkan produktivitas pertanian, sehingga mengancam ketahanan pangan lokal.

Intrusi air laut. Gambar atas pada intrusi alami, dimana pengambilan air tanah masih seimbang dengan masuknya air tanah. Gambar bawah batas intrusi terganggu karena pengambilan air tanah melebihi dari masuknya air tanah

Banjir rob yang dulunya hanya terjadi sesekali, kini menjadi rutinitas menyakitkan. Di Semarang, rob bisa datang setiap bulan, bahkan setiap minggu saat bulan purnama dan pasang tinggi. Ketinggian air bisa mencapai 30 hingga 60 cm—cukup untuk melumpuhkan jalan utama, menutup pasar tradisional, hingga mengganggu kegiatan belajar di sekolah-sekolah. Di banyak tempat, kehidupan menjadi tidak pasti. Warga harus selalu waspada, bersiap dengan karung pasir, pompa air, atau bahkan perahu kecil sebagai alat transportasi dadakan.

Dalam kasus yang lebih ekstrem, beberapa permukiman terpaksa dipindahkan. Di Sayung, Demak, rumah-rumah tradisional telah lama ditinggalkan, dan kini warga tinggal di lantai dua rumah panggung yang dibangun darurat—karena lantai pertama sudah tergenang secara permanen. Beberapa desa bahkan menghilang dari peta karena daratannya sudah sepenuhnya menjadi laut.

🌱 Siapa yang Paling Terkena Dampaknya?

Dampak terbesar ironisnya justru dirasakan oleh kelompok yang paling sedikit menyumbang emisi karbon: nelayan kecil, petani pesisir, dan anak-anak. Nelayan menghadapi penurunan hasil tangkapan karena ekosistem pesisir rusak dan pelabuhan tergenang. Petani tak bisa lagi mengandalkan lahan mereka yang tercemar garam. Anak-anak, yang mestinya belajar dan bermain, kini lebih sering berhadapan dengan air rob, penyakit kulit, dan gangguan sanitasi. Ketimpangan ini menjadi cerminan keras bahwa perubahan iklim tidak membedakan siapa yang menyebabkan dan siapa yang menanggung akibat.

📉 Indonesia Turut Menyumbang Risiko

Ironisnya, Indonesia juga turut menyumbang risiko yang dihadapinya. Meski bukan pengemisi karbon terbesar dunia, pembakaran lahan gambut, deforestasi masif, dan ketergantungan pada batu bara masih menjadi kontributor emisi gas rumah kaca. Praktik-praktik ini mempercepat pemanasan global yang pada akhirnya memperparah pencairan es kutub dan pemuaian laut.

🌍 Bagaimana Dunia Bertindak?

Sementara itu, dunia sudah mulai bergerak. Belanda merancang rumah-rumah terapung dan sistem tanggul raksasa. Negara-negara kecil seperti Maladewa dan Tuvalu bahkan mulai menyusun rencana “migrasi nasional” jika seluruh daratan mereka tenggelam. Singapura, sebagai negara kecil namun maju, telah menyiapkan dana lebih dari 72 miliar dolar untuk membangun infrastruktur perlindungan pesisir.

Apa yang Dilakukan Indonesia?

Indonesia pun tak tinggal diam. Salah satu upaya besar adalah pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan, lewat proyek Ibu Kota Nusantara (IKN), sebagian karena risiko penurunan tanah dan kenaikan muka laut. Di sisi lain, Jakarta juga berencana membangun tanggul raksasa atau Giant Sea Wall di Teluk Jakarta melalui proyek NCICD, meski proyek ini menuai kritik dari segi ekologis dan sosial. Pemerintah juga meluncurkan program rehabilitasi 600 ribu hektar hutan mangrove antara 2020 hingga 2024, sebagai upaya memulihkan ekosistem alami yang mampu menghambat abrasi dan menahan energi gelombang laut. Selain itu, peningkatan sistem drainase dan pompa air di kota-kota pesisir mulai digencarkan, khususnya di Jakarta dan Semarang, sebagai adaptasi jangka pendek menghadapi bencana rob.

Namun, pertanyaannya kini bukan hanya soal apa yang dilakukan, tetapi apakah cukup dan secepat apa respons itu bisa menjawab krisis yang terus berakselerasi dan kian memburuk. Karena dalam perlombaan dengan kenaikan muka laut, waktu adalah musuh utama kita sebagai manusia. 

📸 Foto-Foto yang Berbicara tentang Fakta Kenaikan Muka Laut

Data Citra satelit  
menunjukkan perbedaan garis pantai wilayah Kecamatan Sayung, berdasarkan perbandingan citra tahun 1986 dan 2025:
Berdasarkan citra satelit tahun 1986 dan 2025, terlihat perubahan signifikan pada garis pantai Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak. Pada tahun 1986, garis pantai masih berada lebih ke utara, dengan kawasan pertanian dan permukiman yang masih luas di sepanjang pesisir. Namun, pada tahun 2025, garis pantai tampak telah bergeser jauh ke arah daratan akibat abrasi pesisir yang masif.
Sumber: Google Earth



Anak-anak sekolah dasar Ambulu bersiap untuk menanam pohon mangrove dalam rangka penanaman mangrove untuk Indonesia di Kawasan Pesisir Desa Ambulu Kab. Cirebon 12 November 2022. Jurnalis Mancing Indonesia (JMI) bersama anak-anak sekolah SD Ambulu dan Nelayan melakukan gerakan tanam pohon mangrove dikawasan pesisir pantai Ambulu Cirebon untuk mencegah abrasi pantai dengan tema Mangrove untuk Indonesia. Dalam kegiatan ini JMI menyalurkan bantuan sosial yang disumbangkan oleh perusahaan-perusahaan yang peduli lingkungan. Tempo/Amston Probe


Kampung Tambaklorok, Kelurahan Tanjungmas Semarang dilanda banjir rob, Minggu (11/6/2023). Sumber: https://www.suaramerdeka.com/semarang-raya/049102779/sudah-sepekan-tambaklorok-semarang-masih-dilanda-rob-copot-sepatu-saat-berangkat-sekolah


Foto udara permukiman penduduk yang terkepung air laut akibat abrasi di Desa Timbulsloko, Sayung, Demak, Jawa Tengah, Kamis (14/3/2019). Abrasi yang mengikis garis pantai Kabupaten Demak sekitar tahun 1995 berdampak pada peralihan fungsi lahan setempat yang awalnya merupakan areal pertanian produktif berangsur menjadi tambak ikan dan sebagian kini telah menjadi perairan akibat kenaikan permukaan air laut disertai penurunan permukaan tanah mencapai sekitar 10 sentimeter per tahun.(ANTARA FOOT/AJI STYAWAN)
Banjir rob yang terjadi di Jalan Dermaga Ujung, Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara, paling parah sepanjang 2024.
(KOMPAS.com/ SHINTA DWI AYU)

💡 Jalan ke Depan: Solusi Bukan Sekadar Beton

Menghadapi ancaman kenaikan muka laut bukan soal membangun tanggul setinggi mungkin atau memburu solusi instan berbasis infrastruktur keras semata. Ini tentang perubahan cara pandang — bahwa manusia harus hidup selaras, bukan melawan alam. Meskipun tidak mungkin menghentikan laju naiknya air laut sepenuhnya, kita masih punya ruang untuk memperlambatnya (mitigasi) dan mempersiapkan diri untuk beradaptasi secara cerdas (adaptasi).

Mitigasi: Memperlambat Pemanasan Global
Langkah paling mendasar adalah mengurangi emisi gas rumah kaca yang mempercepat pencairan es di kutub dan pemanasan laut. Indonesia harus memperkuat kebijakan pelestarian hutan dan lahan gambut yang selama ini menjadi paru-paru dunia sekaligus penyimpan karbon alami. Penghentian deforestasi besar-besaran dan pengurangan ketergantungan pada energi fosil seperti batu bara bukan hanya soal komitmen iklim global, tetapi menyangkut keselamatan puluhan juta warga yang tinggal di kawasan pesisir. Komitmen pada Perjanjian Paris — menjaga kenaikan suhu global di bawah 1,5°C — bukanlah angka simbolis, melainkan batas tipis antara masa depan yang bisa ditangani dan bencana yang tak terkendali.

Adaptasi: Mempersiapkan Ruang Hidup yang Tangguh
Adaptasi berarti mendesain ulang cara kita membangun kota, mengelola ruang pesisir, dan mempersiapkan masyarakat menghadapi realitas baru. Tata ruang kota harus lebih adaptif terhadap siklus pasang surut dan potensi rob. Bukan hanya membangun tanggul, tapi juga menciptakan ruang terbuka biru dan hijau — seperti sabuk mangrove, danau retensi, kanal air, hingga taman kota yang mampu menahan limpasan dan memperlambat aliran air. Edukasi kepada masyarakat pesisir sangat penting, terutama dalam menghadapi perubahan pola cuaca, teknik pertanian adaptif, hingga penyelamatan saat bencana rob datang. Pelibatan komunitas lokal — dari nelayan, petani, hingga pelajar — akan membuat solusi lebih membumi dan berkelanjutan.

Selamatkan pesisir hari ini, atau kita harus memindahkannya esok hari.

Indonesia saat ini merupakan negara yang tidak aman dari kenaikan muka laut. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, kita justru berdiri di garda terdepan menghadapi krisis yang ada. Tapi di balik kerentanannya, Indonesia menyimpan kekuatan besar: kearifan lokal, keberagaman hayati, pengetahuan ilmiah, dan semangat gotong royong yang merupakan budaya luhur dari penduduknya. Semua itu adalah fondasi untuk menciptakan masa depan yang lebih tangguh.

Dalam menghadapi laut yang terus naik, pertanyaan terpenting bukan lagi sekedar 

Apakah kita dapat menyelamatkan daratan ? 
melainkan: 
Apakah kita siap hidup berdampingan dengan laut secara lebih bijak, cerdas, dan juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan ?

🌊 Perubahan Iklim: Apakah Indonesia Aman dari Kenaikan Muka Laut

Oleh: Alex Citra 2025 Ketika Laut Perlahan Naik, Daratan Perlahan Hilang Coba kita membayangkan di suatu pagi ketika kita berdiri di pes...

Chiba University, Japan

Chiba University, Japan