Oleh: Alex Citra 2025
Ketika Laut
Perlahan Naik, Daratan Perlahan Hilang
Coba kita membayangkan di suatu pagi ketika kita berdiri di pesisir utara Jakarta. Udara lembap, aroma asin laut bercampur bau tanah yang basah menyelinap masuk lewat celah-celah jendela ataupun pintu. Belum sempurna terangnya langit, tetapi jejak pasang laut sudah lebih dulu datang menyusuri jalan-jalan kecil, menggenangi pelataran rumah, diam-diam meresap ke akar pohon dan pondasi bangunan. Genangan air itu tampak tenang, nyaris seperti cermin. Tapi kita jangan tertipu oleh ketenangannya — air itu membawa pesan yang sunyi tapi serius: daratan sedang perlahan kalah oleh lautan.
Di suatu kota yang dahulunya dibangun di atas rawa-rawa dan tambak, batas antara laut dan daratan kini semakin kabur. Tak ada badai. Tak ada hujan. Tapi jalan-jalan tergenang. Penduduk setempat menyebutnya "air rob", air pasang yang naik ke daratan. Dulu ia datang sesekali dalam satu tahun. Kini, ia bisa datang setiap bulan — bahkan mungkin bisa setiap minggu.
Di beberapa titik, jalanan tak lagi tampak
di peta, melainkan berubah menjadi kanal-kanal permanen, tempat anak-anak
bermain rakit dari styrofoam, atau warga tua menyebrang dengan sepatu bot yang
tak pernah kering. Bangunan yang dulunya berdiri gagah kini tampak seperti
pulau-pulau kecil di lautan mini yang tak kunjung surut. Beberapa rumah sudah
ditinggalkan, dibiarkan hancur pelan-pelan oleh kelembaban, jamur, dan karat.
Fenomena ini tak hanya terjadi di Jakarta. Di
sepanjang pesisir utara Pulau Jawa — dari Cirebon, Demak, hingga Gresik — tanah
daratan menyusut sentimeter demi sentimeter setiap tahun, sementara
permukaan laut terus naik. Peta topografi yang ada kini mulai berbeda dari
kenyataan (fakta) di lapangan. Lebih dari sekadar perubahan visual, ini
adalah perubahan eksistensial. Tanah yang dulu diwariskan antargenerasi
kini berubah menjadi air yang tak bisa diwariskan. Sawah menjadi rawa asin.
Jalan menjadi sungai. Masjid yang dulunya jadi titik kumpul warga kini hanya
bisa diakses saat air surut dan bahkan sudah tidak dapat digunakan kembali.
Dan apa yang paling mengejutkan? Semua ini terjadi
tanpa gemuruh, tanpa peringatan. Seperti bisikan air yang terus
mengalir, perlahan tapi pasti menandai hilangnya daratan — selapis demi selapis
— dari peta Indonesia.
📍 Apa Itu Kenaikan Muka Laut?
Kenaikan muka laut (sea level rise) adalah
gejala global yang kini kian nyata terasa di berbagai pesisir dunia, termasuk
Indonesia. Fenomena ini terjadi karena dua penyebab utama yang saling
memperkuat: mencairnya es di kutub dan gletser, serta pemuaian termal air laut
akibat peningkatan suhu bumi. Saat lapisan es di Greenland, Antarktika, dan
pegunungan-pegunungan tinggi mencair, air yang selama ribuan tahun tersimpan
dalam bentuk padat itu mengalir ke laut, menambah volume air secara permanen.
Di sisi lain, laut yang terus menyerap panas dari atmosfer—karena lebih dari
90% pemanasan global diserap oleh laut—mengalami pemuaian. Semakin hangat air
laut, semakin besar volumenya, dan semakin tinggi permukaan laut.
Bongkahan es mencair di Ilulissat Icefjord, Greeland. Nationalgeographic.co.id
Menurut data Panel Antarpemerintah tentang
Perubahan Iklim (IPCC), permukaan laut global telah meningkat sekitar 20 cm
sejak awal abad ke-20. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah kecepatan perubahannya yang terjadi. Jika pada awal abad 20 laju kenaikan hanya sekitar 1–2 mm tiap tahun, maka sejak
1990-an laju tersebut melonjak hingga lebih dari 4 mm tiap tahunnya. Artinya, dalam
rentang waktu yang relatif sangat singkat, bumi telah mempercepat laju kehilangan
daratannya. Jika tren ini berlanjut tanpa intervensi, skenario paling
pesimistis memperkirakan muka laut dapat naik hingga 1 meter pada akhir abad
ini. Bagi negara kepulauan seperti Indonesia, hal ini bukan sekadar prediksi
ilmiah, tetapi alarm bahaya bagi jutaan orang yang tinggal di dataran rendah
pesisir, termasuk Jakarta, Semarang, Belawan, hingga kawasan Delta Mahakam.
Kenaikan muka laut bukan hanya ancaman
terhadap fisik daratan, tetapi juga terhadap sistem sosial dan ekonomi yang
menopang kehidupan di sekitarnya. Air laut yang merangsek masuk perlahan
mengubah ekosistem, mencemari air tanah, menurunkan hasil panen, mempercepat
erosi pantai, dan menggusur komunitas yang bergantung pada pesisir. Ini adalah
krisis yang datang perlahan, tanpa suara gemuruh atau badai besar—tetapi dengan
konsekuensi yang dapat mengguncang fondasi kehidupan jutaan orang.
🧭 Bagaimana Dampaknya bagi Indonesia?
Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, menjadi salah satu wilayah yang paling rentan terhadap dampak langsung kenaikan muka laut. Dataran-dataran rendah di pesisir utara Jakarta, Semarang, Surabaya bagian timur, hingga wilayah pesisir Aceh, Kalimantan Barat, dan Papua Selatan, kini perlahan-lahan mulai kehilangan garis pantainya. Tanpa perlindungan yang memadai seperti tanggul atau sabuk hijau mangrove, wilayah-wilayah ini semakin sering tergenang. Bahkan, menurut prediksi para ahli, lebih dari 2.000 pulau kecil di Indonesia dapat hilang dari peta sebelum tahun 2050 jika tren ini tak segera dikendalikan.
Prof. Heri Andreas seorang pakar geodesi dari ITB, mengingatkan bahwa bahwa wilayah pesisir seperti Pekalongan, Semarang, dan Demak bahkan lebih cepat mengalami penurunan muka tanah, dengan laju antara 15–20 cm per tahun. Ia menegaskan bahwa tanpa intervensi (tanggul, pompa, konservasi mangrove), beberapa wilayah pesisir bisa “ditelan” laut.
Salah satu dampak paling mengganggu adalah masuknya air asin ke daratan, dikenal sebagai intrusi air laut. Fenomena ini menyebabkan air tanah dan sungai yang dulunya segar kini menjadi payau. Di Indramayu dan Demak, para petani mengeluh karena air sumur tak lagi layak untuk irigasi dan konsumsi. Banyak dari mereka akhirnya mengubah lahan sawah menjadi tambak ikan atau udang, bukan karena pilihan strategis, tetapi sebagai bentuk adaptasi paksa terhadap perubahan yang tak bisa mereka kendalikan. Intrusi air asin juga memperparah kerusakan lingkungan dan menurunkan produktivitas pertanian, sehingga mengancam ketahanan pangan lokal.
Intrusi air laut. Gambar atas pada intrusi alami, dimana pengambilan air tanah masih seimbang dengan masuknya air tanah. Gambar bawah batas intrusi terganggu karena pengambilan air tanah melebihi dari masuknya air tanah
Dalam kasus yang lebih ekstrem, beberapa
permukiman terpaksa dipindahkan. Di Sayung, Demak, rumah-rumah tradisional
telah lama ditinggalkan, dan kini warga tinggal di lantai dua rumah panggung
yang dibangun darurat—karena lantai pertama sudah tergenang secara permanen.
Beberapa desa bahkan menghilang dari peta karena daratannya sudah sepenuhnya
menjadi laut.
🌱 Siapa yang Paling
Terkena Dampaknya?
Dampak terbesar ironisnya justru dirasakan
oleh kelompok yang paling sedikit menyumbang emisi karbon: nelayan kecil,
petani pesisir, dan anak-anak. Nelayan menghadapi penurunan hasil tangkapan
karena ekosistem pesisir rusak dan pelabuhan tergenang. Petani tak bisa lagi
mengandalkan lahan mereka yang tercemar garam. Anak-anak, yang mestinya belajar
dan bermain, kini lebih sering berhadapan dengan air rob, penyakit kulit, dan
gangguan sanitasi. Ketimpangan ini menjadi cerminan keras bahwa perubahan iklim
tidak membedakan siapa yang menyebabkan dan siapa yang menanggung akibat.
📉 Indonesia Turut
Menyumbang Risiko
Ironisnya, Indonesia juga turut menyumbang
risiko yang dihadapinya. Meski bukan pengemisi karbon terbesar dunia,
pembakaran lahan gambut, deforestasi masif, dan ketergantungan pada batu bara
masih menjadi kontributor emisi gas rumah kaca. Praktik-praktik ini mempercepat
pemanasan global yang pada akhirnya memperparah pencairan es kutub dan pemuaian
laut.
🌍 Bagaimana Dunia
Bertindak?
Sementara itu, dunia sudah mulai bergerak.
Belanda merancang rumah-rumah terapung dan sistem tanggul raksasa.
Negara-negara kecil seperti Maladewa dan Tuvalu bahkan mulai menyusun rencana
“migrasi nasional” jika seluruh daratan mereka tenggelam. Singapura, sebagai
negara kecil namun maju, telah menyiapkan dana lebih dari 72 miliar dolar untuk
membangun infrastruktur perlindungan pesisir.
Apa
yang Dilakukan Indonesia?
Indonesia pun tak tinggal diam. Salah satu
upaya besar adalah pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan, lewat proyek
Ibu Kota Nusantara (IKN), sebagian karena risiko penurunan tanah dan kenaikan
muka laut. Di sisi lain, Jakarta juga berencana membangun tanggul raksasa atau Giant
Sea Wall di Teluk Jakarta melalui proyek NCICD, meski proyek ini menuai
kritik dari segi ekologis dan sosial. Pemerintah juga meluncurkan program
rehabilitasi 600 ribu hektar hutan mangrove antara 2020 hingga 2024, sebagai
upaya memulihkan ekosistem alami yang mampu menghambat abrasi dan menahan
energi gelombang laut. Selain itu, peningkatan sistem drainase dan pompa air di
kota-kota pesisir mulai digencarkan, khususnya di Jakarta dan Semarang, sebagai
adaptasi jangka pendek menghadapi bencana rob.
Namun, pertanyaannya kini bukan hanya soal apa yang dilakukan, tetapi apakah cukup dan secepat apa respons itu bisa menjawab krisis yang terus berakselerasi dan kian memburuk. Karena dalam perlombaan dengan kenaikan muka laut, waktu adalah musuh utama kita sebagai manusia.
📸 Foto-Foto yang Berbicara tentang Fakta Kenaikan Muka Laut





💡 Jalan ke Depan: Solusi Bukan Sekadar Beton
Menghadapi ancaman kenaikan muka laut bukan
soal membangun tanggul setinggi mungkin atau memburu solusi instan berbasis
infrastruktur keras semata. Ini tentang perubahan cara pandang — bahwa manusia
harus hidup selaras, bukan melawan alam. Meskipun tidak mungkin menghentikan
laju naiknya air laut sepenuhnya, kita masih punya ruang untuk memperlambatnya
(mitigasi) dan mempersiapkan diri untuk beradaptasi secara cerdas (adaptasi).