Beberapa hari yang lalu, banjir bandang melanda sejumlah wilayah di Sumatra. Air bercampur lumpur, bebatuan, dan batang kayu menerjang permukiman, merusak rumah warga, memutus akses jalan, serta memaksa ribuan orang mengungsi. Bencana ini tampak datang secara tiba-tiba, namun sesungguhnya merupakan akumulasi dari berbagai proses alam dan aktivitas manusia yang berlangsung dalam waktu lama.
Curah hujan yang tinggi memang menjadi pemicu, tetapi bukan satu-satunya penyebab. Konversi hutan menjadi lahan terbangun, perkebunan kelapa sawit, pertambangan, serta pembukaan lahan skala besar di daerah hulu sungai telah mengurangi kemampuan tanah untuk menyerap air. Hutan yang sebelumnya berfungsi sebagai daerah resapan dan penahan aliran permukaan berubah menjadi kawasan terbuka yang mudah tererosi. Akibatnya, saat hujan deras turun, air mengalir cepat ke wilayah hilir sambil membawa material tanah, lumpur, dan kayu yang memicu banjir bandang.
Mungkin kamu tidak berada di lokasi kejadian dan tidak merasakan langsung dampaknya. Namun, sadarlah bahwa bencana ini bukan sekadar masalah lokal. Ketika hutan Sumatra terus berkurang dan tata ruang diabaikan, risiko bencana akan meningkat dan mengancam kehidupan manusia secara luas. Banjir bandang menjadi peringatan nyata bahwa ketidakseimbangan antara pembangunan dan kelestarian lingkungan dapat berujung pada bencana.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, bukan hanya kerugian materi yang akan terjadi, tetapi juga hilangnya rasa aman, sumber penghidupan, dan kualitas hidup masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan kepedulian dan pemahaman yang mendalam. Belajar Geografi bukan sekadar menghafal peta atau nama wilayah, melainkan memahami hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungannya. Dengan pemahaman geografis, kita diajak untuk menata ruang secara bijak, mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan, dan mencegah bencana demi masa depan bumi yang lebih aman.