Minggu, 22 Juni 2025

Geografi Budaya dan Pariwisata: Perkembangannya di Indonesia yang Multikultural

Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan yang sangat kaya akan keberagaman budaya. Terdiri dari lebih dari 17.000 pulau, 700 lebih bahasa daerah, dan ratusan kelompok etnis, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat keanekaragaman budaya tertinggi di dunia. Dalam konteks ilmu geografi, keragaman ini tidak hanya menarik secara sosiologis atau antropologis, tetapi juga menjadi pokok bahasan utama dalam cabang ilmu yang disebut geografi budaya dan geografi pariwisata.

Geografi budaya adalah studi tentang bagaimana unsur-unsur budaya seperti bahasa, agama, tradisi, seni, sistem kepercayaan, dan nilai-nilai lokal tersebar serta terwujud dalam ruang dan waktu tertentu. Cabang geografi ini membantu kita memahami bahwa budaya tidak muncul secara acak, melainkan dipengaruhi oleh faktor geografis seperti bentang alam, iklim, sumber daya alam, serta mobilitas manusia. Misalnya, rumah adat Minangkabau dengan atap gonjongnya dirancang untuk menyesuaikan dengan curah hujan tinggi di wilayah Sumatra Barat, sementara rumah panggung di Kalimantan dikembangkan untuk menghindari banjir serta gangguan satwa liar. Contoh lain adalah sistem subak di Bali, yaitu sistem pengairan sawah yang bukan hanya mencerminkan teknologi lokal, tetapi juga nilai spiritual masyarakat Hindu Bali.

Sementara itu, geografi pariwisata adalah cabang ilmu geografi yang mempelajari pola perjalanan dan aktivitas wisata manusia, serta dampaknya terhadap ruang dan masyarakat. Geografi pariwisata menjelaskan mengapa suatu daerah berkembang menjadi destinasi wisata dan bagaimana wisatawan berinteraksi dengan lingkungan fisik maupun sosial di tempat tersebut. Dalam konteks Indonesia, pariwisata tidak hanya berbicara tentang keindahan alam seperti pantai, gunung, atau danau, tetapi juga tentang keunikan budaya lokal yang menjadi daya tarik utama, mulai dari tarian tradisional, upacara adat, arsitektur, hingga kuliner khas daerah.

Perkembangan geografi budaya di Indonesia dapat diamati dari berbagai aspek. Di era digital saat ini, budaya lokal semakin mudah dikenalkan ke masyarakat luas melalui media sosial, film, dan konten digital. Tradisi yang sebelumnya hanya dikenal secara lokal, seperti upacara Kasada di Tengger atau Festival Danau Sentani di Papua, kini dapat menjangkau audiens nasional bahkan internasional. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga mendorong pelestarian budaya lewat program revitalisasi bahasa daerah, festival budaya, dan pengarsipan digital. Namun, kemajuan ini tidak lepas dari tantangan. Globalisasi dan modernisasi mendorong homogenisasi budaya, mengikis identitas lokal, dan dalam beberapa kasus, menggantikan tradisi asli dengan budaya populer global. Di kota-kota besar, generasi muda lebih akrab dengan budaya luar ketimbang warisan budayanya sendiri.

Sementara itu, perkembangan geografi pariwisata di Indonesia mengalami lonjakan signifikan dalam dua dekade terakhir. Pemerintah menetapkan lima destinasi super prioritas—Borobudur, Danau Toba, Labuan Bajo, Mandalika, dan Likupang—yang masing-masing mengusung potensi alam sekaligus budaya lokal yang khas. Pertumbuhan pariwisata juga mendorong lahirnya desa wisata, seperti Desa Nglanggeran di Yogyakarta atau Desa Penglipuran di Bali, di mana masyarakat lokal menjadi pelaku utama dalam menyambut wisatawan dan mempertahankan identitas budayanya. Model ini dikenal sebagai pariwisata berbasis komunitas atau community-based tourism.

Namun, pariwisata juga memiliki dua sisi. Di satu sisi, ia membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan daerah, dan menjadi media promosi budaya lokal. Di sisi lain, pariwisata yang tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan kerusakan lingkungan, kemacetan, kenaikan harga tanah, dan ketimpangan sosial. Kasus seperti overtourism di Bali atau kerusakan terumbu karang akibat aktivitas wisata di Raja Ampat menunjukkan perlunya perencanaan ruang yang matang dan keberpihakan pada pelestarian.

Geografi budaya dan geografi pariwisata saling berkaitan erat. Budaya lokal sering menjadi dasar utama dalam pengembangan pariwisata, sementara pariwisata memberikan peluang untuk mempertahankan dan menghidupkan kembali nilai-nilai budaya. Namun, keduanya juga harus dikelola secara seimbang. Ketika budaya dijadikan komoditas tanpa pemahaman konteksnya, ia rentan kehilangan makna. Oleh karena itu, pendekatan berbasis partisipasi masyarakat, edukasi wisatawan, dan regulasi yang mendukung keadilan budaya perlu dikedepankan.

Dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, peran geografi budaya dan pariwisata sangat strategis. Keduanya dapat menjadi alat untuk memahami dan mengelola keragaman, serta menciptakan keseimbangan antara pelestarian budaya, perlindungan lingkungan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal. Untuk Indonesia yang multikultural, pemahaman mendalam terhadap dinamika budaya dan wisata bukan hanya penting dalam konteks akademik, tetapi juga dalam praktik kebijakan dan pembangunan daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Massa Udara mP (Maritime Polar): Pengertian, Ciri-Ciri, Sumber, dan Dampaknya terhadap Cuaca

Contoh Soal:  Massa udara dengan notasi “mP” pada peta cuaca diketahui memiliki ciri dingin, lembab dan ketika  bergerak membawa banyak awan...

Chiba University, Japan

Chiba University, Japan