Rabu, 09 Juli 2025

Pohon yang Tumbang, dan Kita yang Terburu-Buru

Alex Citra 2025

Beberapa hari terakhir, linimasa media sosial ramai dengan foto dan video pohon-pohon besar yang tumbang. Di Jakarta, Bandung, Semarang, hingga Makassar. Sebagian menimpa kendaraan, menghancurkan kios kecil, dan bahkan menewaskan pengguna jalan.

DOKUMENTASI BPBD KOTA BOGOR
Hujan deras disertai angin kencang menyebabkan pohon tumbang menimpa sebuah mobil, Senin (2/11/2020). Berdasarkan data BPBD Kota Bogor, empat pohon tumbang masing-masing di Jalan Juanda (Bogor Tengah), Jalan Ahmad Yani (Tanah Sareal), Jalan Dadali (Tanah Sareal), dan di kawasan Tajur (Bogor Selatan)

Hujan disertai angin kencang adalah penyebab langsungnya. Tapi seperti biasa, alam hanya menunjukkan gejala—soal makna, kitalah yang harus membaca.

Setiap kali pohon tua roboh, orang bertanya:
“Kenapa pohonnya tumbang?”
“Kenapa akarnya tak kuat?”
“Kenapa tak ditebang saja sebelum menimpa orang?”

Pertanyaan-pertanyaan yang sah. Tapi sering kali kita lupa bertanya:
“Kenapa kita terlalu sering terburu-buru membangun, tapi jarang memberi ruang akar untuk tumbuh?”


Bukan Salah Pohon Semata

Di banyak kota, pohon ditanam di trotoar yang sempit, dikelilingi beton, dibatasi aspal panas. Akar-akar yang seharusnya menyebar luas dan dalam, terpaksa menggulung diri. Air hujan tak sempat meresap ke dalam tanah—karena semua telah dipaving. Lalu ketika badai datang, pohon terayun, tak punya pegangan, lalu roboh.

Bukan karena lemah. Tapi karena tak diberi ruang.

Itu bukan hanya tentang pepohonan. Itu juga tentang kita.


Membaca Angin, Menakar Diri

Banyak dari kita hidup seperti pohon kota: 
Ditekan dari segala arah, dituntut bertumbuh cepat, diminta hasil tanpa sempat memupuk akar. Pendidikan yang buru-buru. Pekerjaan yang mengejar target. Informasi yang serba instan. Tapi sedikit ruang untuk bernapas, apalagi merenung. 

Cuaca ekstrem seperti angin puting beliung dan hujan deras seharusnya jadi alarm—bukan hanya tentang perubahan iklim, tapi juga tentang ritme hidup yang semakin kita lupakan: bahwa kekuatan bukan hanya soal tinggi menjulang, tapi dalamnya keterhubungan dengan bumi.


Melek Iklim, Melek Diri

Perubahan iklim bukan sekadar fenomena sains yang jauh di kutub utara. Ia adalah realitas yang datang lewat pohon tumbang di depan rumah, genangan di tempat kerja, dan panas terik yang tak lagi bisa ditawar.

Maka, seperti halnya kita belajar memahami jenis awan ataupun unsur-unsur dari cuaca dan iklim, membaca indeks UV, dan menyimak prakiraan cuaca ekstrem dari BMKG, mungkin kita juga perlu belajar memahami tanda-tanda dalam hidup sendiri:

  • Kapan harus berakar, bukan sekadar tumbuh.

  • Kapan harus berteduh, bukan terus berlari.

  • Kapan harus mendengar angin, bukan melawannya.


Kita Bisa Menjadi Penjaga, Bukan Korban

Bayangkan jika kota ini menanam pohon sambil memberi tanah luas untuk akarnya. Jika sekolah mengajarkan pentingnya satu pohon tua di pinggir jalan. Jika berita tak hanya mengabarkan korban pohon tumbang, tapi juga mengulas penyebab ekosistemnya yang rusak.

Bayangkan jika kita berhenti memusuhi hujan, dan mulai bertanya: apa yang bisa kita ubah dalam cara hidup kita agar bumi tak terus mengirim peringatan lewat bencana?


Akar Itu Perlu Waktu, dan Kita Perlu Kesabaran

Karena bukan hanya pohon yang butuh akar. Kita pun begitu. Dan dalam dunia yang terus dipacu untuk cepat, barangkali akar adalah satu-satunya hal yang membuat kita tetap bertahan saat badai datang.

Pohon tumbang bisa tumbuh lagi,
asal diberi ruang.
Kita pun demikian.

Selasa, 08 Juli 2025

Fakta Menakjubkan Pegunungan Himalaya: Rumah Gunung-Gunung Tertinggi di Dunia


Pegunungan Himalaya

Pegunungan Himalaya merupakan jajaran pegunungan raksasa yang membentang megah di Asia Selatan dan dijuluki sebagai “atap dunia”. Julukan ini bukan sekadar kiasan—karena dari sepuluh puncak tertinggi di Bumi, sembilan di antaranya berdiri gagah di wilayah Himalaya. Di antara deretan raksasa ini, Gunung Everest menjadi ikon paling legendaris, menjulang hingga ketinggian 8.849 meter di atas permukaan laut, menjadikannya titik tertinggi di permukaan planet ini.

Lokasi dan Negara yang Dilalui

Pegunungan Himalaya membentang sepanjang lebih dari 2.500 kilometer di Asia Selatan, melewati lima negara utama, yaitu:

  • Nepal
  • Bhutan
  • India bagian timur laut
  • Tibet (wilayah otonomi Tiongkok)
  • Myanmar bagian utara

Rentang wilayah ini membentuk bentang alam yang dramatis, mulai dari lembah subur hingga puncak-puncak berselimut salju yang nyaris abadi. Himalaya tidak hanya menjadi batas geografis antara dataran tinggi Tibet dan anak benua India, tetapi juga menjadi pusat keanekaragaman hayati dan persilangan budaya.

Di wilayah ini, berbagai etnis dan komunitas telah lama hidup berdampingan dengan alam pegunungan yang keras namun memesona. Himalaya juga memiliki peran penting dalam sistem iklim dan hidrologi kawasan, menjadikannya salah satu kawasan paling vital di planet ini secara ekologis dan geografis..

Deretan Puncak Tertinggi di Himalaya

Pegunungan Himalaya bukan sekadar rumah bagi Gunung Everest, tetapi juga menyimpan deretan puncak megah lain yang mendominasi daftar gunung tertinggi di dunia. Di sepanjang jajaran pegunungan ini, berdiri tegak delapan dari sepuluh gunung tertinggi di Bumi, masing-masing menjulang dengan karakter dan tantangannya sendiri.

Beberapa puncak ikonik di antaranya adalah:

  • Kangchenjunga (8.586 m) – Terletak di perbatasan Nepal dan India, ini adalah gunung tertinggi ketiga di dunia dan dikenal akan medan yang sangat terjal serta cuaca yang sulit diprediksi.
  • Lhotse (8.516 m) – Berada sangat dekat dengan Everest, Lhotse adalah gunung tertinggi keempat dan memiliki dinding es curam yang menjadi tantangan tersendiri bagi para pendaki.
  • Makalu (8.485 m) – Gunung berbentuk piramida ini terkenal karena keindahannya dan medan teknisnya yang sulit.
  • Cho Oyu (8.188 m) – Sering disebut sebagai salah satu "eight-thousanders" yang paling ramah untuk didaki, Cho Oyu tetap menyajikan tantangan tinggi.
  • Dhaulagiri (8.167 m), Manaslu (8.163 m), dan Annapurna (8.091 m) – Tiga puncak berbahaya yang berada seluruhnya di wilayah Nepal, dengan Annapurna dikenal memiliki tingkat kematian tertinggi di antara gunung-gunung setinggi 8.000 meter.

Secara keseluruhan, Himalaya memiliki lebih dari 110 puncak yang tingginya melebihi 7.300 meter, menjadikannya zona pegunungan tertinggi dan paling padat puncak ekstrem di dunia. Pemandangan dari ketinggian ini bukan hanya memukau, tetapi juga menyimpan banyak misteri geologis dan spiritual yang menginspirasi penjelajahan, penelitian, dan kisah-kisah luar biasa dari para pendaki dan penduduk lokal.

Setiap puncak di Himalaya bukan hanya gumpalan batu dan salju—melainkan juga simbol kekuatan alam, tantangan hidup, dan hubungan manusia dengan dunia yang lebih tinggi.

Panjang dan Luas Pegunungan Himalaya

Pegunungan Himalaya membentang sejauh kurang lebih 2.500 kilometer dari barat ke timur, mulai dari wilayah Pakistan utara hingga ke wilayah timur laut India dan Myanmar, membentuk salah satu sistem pegunungan terbesar dan paling spektakuler di dunia. Secara keseluruhan, pegunungan ini mencakup area seluas sekitar 595.000 kilometer persegi, menjadikannya salah satu zona geografis yang paling mencolok dan penting secara ekologis di planet ini.

Himalaya bukan sekadar barisan gunung yang menjulang tinggi, tapi juga berperan sebagai benteng alami yang memisahkan Dataran Tinggi Tibet di utara dengan anak benua India di selatan. Posisi ini menjadikan Himalaya sangat vital dalam membentuk pola iklim di kawasan sekitarnya. Pegunungan ini menghalangi angin muson dan mengatur curah hujan, sehingga memengaruhi iklim dari India hingga ke Cina bagian selatan.

Lebih dari itu, topografi Himalaya yang ekstrem juga menciptakan zona ekologi yang berlapis, mulai dari hutan hujan tropis di kaki gunung, hingga tundra dan zona salju abadi di puncak-puncaknya. Dengan ketinggian dan luas bentangnya, Himalaya menjadi penyimpan cadangan air terbesar di luar kutub, dan sumber bagi sungai-sungai besar Asia yang menopang kehidupan miliaran manusia.

Sumber Sungai Besar Asia

Pegunungan Himalaya bukan hanya menjadi benteng alam yang menjulang tinggi, tetapi juga berfungsi sebagai “menara air” bagi Asia. Dari gletser-gletser abadi dan lereng-lereng curamnya, mengalir sejumlah sungai terbesar dan terpenting di benua ini, yang menopang kehidupan miliaran manusia di Asia Selatan, Timur, dan Tenggara.

Beberapa sungai utama yang bersumber dari Himalaya antara lain:

  • Sungai Indus
    Mengalir dari Tibet melalui Ladakh (India) hingga ke Pakistan, Indus adalah tulang punggung pertanian dan irigasi di wilayah Pakistan, serta menjadi sumber air penting bagi wilayah kering di Asia Selatan.
  • Sungai Ganga (Gangga)
    Disebut sebagai sungai suci oleh umat Hindu, Ganga bermula dari gletser Gangotri di India Utara. Sungai ini menjadi pusat budaya, spiritual, dan ekonomi bagi India dan Bangladesh, serta menyediakan air untuk lebih dari 500 juta orang.
  • Sungai Brahmaputra
    Mengalir dari Tibet (dengan nama Yarlung Tsangpo), memasuki India di Arunachal Pradesh, lalu ke Bangladesh. Sungai ini sangat vital untuk sistem pertanian, perikanan, dan energi di wilayah timur laut India dan sekitarnya.
  • Sungai Yangtze (Chang Jiang)
    Sungai terpanjang di Asia ini bersumber dari dataran tinggi Tibet, di barat Pegunungan Himalaya. Yangtze memainkan peran utama dalam kehidupan ekonomi dan ekologi Tiongkok, menjadi sumber air, jalur transportasi, dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) raksasa seperti Bendungan Tiga Ngarai.

Secara keseluruhan, lebih dari 1,5 miliar orang bergantung pada aliran air dari Himalaya untuk kebutuhan sehari-hari—mulai dari air minum, irigasi pertanian, sanitasi, hingga industri. Oleh karena itu, Himalaya juga disebut sebagai “jantung air Asia”.

Surga Es dan Salju di Atap Dunia

Pegunungan Himalaya bukan hanya terkenal karena ketinggiannya, tetapi juga karena menjadi wilayah penyimpanan es dan salju terbesar ketiga di dunia, setelah Antartika dan Kutub Utara. Kawasan ini sering dijuluki sebagai “menara air Asia”, karena menyimpan cadangan air tawar dalam bentuk salju dan gletser yang sangat besar.

Salah satu gletser paling terkenal di Himalaya adalah Gletser Siachen, yang membentang sepanjang 72 kilometer dan menjadi gletser non-kutub terbesar di Bumi. Letaknya di wilayah perbatasan antara India dan Pakistan menjadikannya tidak hanya penting secara ekologis, tetapi juga strategis secara geopolitik.

Selain Siachen, Himalaya juga menyimpan sejumlah gletser megah lainnya, seperti:

  • Gletser Baltoro di Pakistan, yang mengalir di bawah bayangan Gunung K2, puncak tertinggi kedua di dunia.
  • Gletser Biafo, salah satu jalur es terpanjang yang dapat dilalui manusia.
  • Gletser Nubra dan Hispur, yang berperan penting dalam mengaliri sungai-sungai besar di kawasan sekitarnya.

Gletser-gletser ini bukan hanya spektakuler secara visual, tapi juga vital sebagai sumber air utama bagi miliaran orang di Asia. Es yang mencair secara alami selama musim panas menjadi aliran utama bagi sungai-sungai besar seperti Ganga, Indus, dan Brahmaputra, menopang pertanian, kehidupan kota, dan keanekaragaman hayati di seluruh Asia Selatan dan Tenggara.

Fauna Khas Himalaya

Keanekaragaman hayati di Pegunungan Himalaya tidak kalah menakjubkan dibandingkan keindahan lanskapnya. Ketinggian yang ekstrem, iklim yang keras, serta variasi vegetasi dari hutan subtropis hingga tundra alpine menjadikan Himalaya sebagai rumah bagi berbagai spesies hewan langka dan endemik yang sulit ditemukan di tempat lain.

Beberapa satwa paling ikonik yang menghuni wilayah ini antara lain:

  • 🐆 Macan tutul salju (Snow Leopard): Predator misterius yang menjelajahi lereng-lereng tinggi Himalaya, dikenal karena bulunya yang tebal dan kemampuan berkamuflase yang luar biasa. Hewan ini menjadi simbol konservasi pegunungan karena statusnya yang sangat terancam punah.
  • 🐅 Harimau Bengal: Meskipun lebih umum ditemukan di dataran rendah India, sebagian populasinya mendiami kaki-kaki Himalaya, terutama di taman-taman nasional seperti Sundarbans dan Terai.
  • 🐘 Gajah Asia: Ditemukan di hutan-hutan dataran rendah di kaki pegunungan, gajah ini berperan penting dalam ekosistem dan budaya lokal.
  • 🦏 Badak bercula satu (Indian Rhinoceros): Spesies langka yang hidup di wilayah dataran rendah Himalaya seperti di Taman Nasional Kaziranga di India timur laut.
  • 🐃 Yak liar: Hidup di padang rumput tinggi dan dingin Himalaya, yak adalah simbol kekuatan dan daya tahan. Di samping yang liar, yak juga telah dijinakkan oleh masyarakat lokal sebagai hewan angkut dan sumber pangan.
  • 🦜 Burung Himalayan Monal: Burung nasional Nepal yang memiliki bulu berwarna-warni mencolok. Hidup di daerah tinggi dan menjadi lambang keindahan fauna Himalaya.

Selain itu, Himalaya juga menjadi rumah bagi beruang Himalaya, rubah Tibet, panda merah, dan lusinan spesies burung pemangsa dan elang pegunungan.

Macan tutul salju di Pegunungan Himalaya (Foto: BBC)

Harimau Benggala Kerajaan terlihat di Taman Nasional Bardiya, Nepal, Rabu (31/3/2021)

Ancaman Ekologis: Ketika Atap Dunia Mulai Retak

Di balik kemegahan dan pesona alamnya, Pegunungan Himalaya tengah menghadapi berbagai ancaman ekologis yang kian mengkhawatirkan. Wilayah ini, yang selama ribuan tahun menjadi penopang kehidupan jutaan makhluk hidup dan sumber air utama bagi Asia, kini berada dalam tekanan besar akibat ulah manusia dan dampak perubahan iklim.

❄️ Pencairan Gletser Akibat Pemanasan Global

Salah satu ancaman paling nyata adalah pemanasan global yang mempercepat pencairan gletser Himalaya. Gletser-gletser besar seperti Siachen, Baltoro, dan Quelccaya yang dulu menjadi penyimpan air jangka panjang, kini mencair lebih cepat dari yang diperkirakan. Ini tidak hanya meningkatkan risiko banjir bandang dan longsor gletser, tapi juga mengancam ketersediaan air jangka panjang bagi lebih dari 1,5 miliar orang yang bergantung pada sungai-sungai yang bersumber dari Himalaya.

⛏️ Eksploitasi Sumber Daya Alam

Pertambangan ilegal, penebangan liar, dan aktivitas industri yang tidak terkendali telah menyebabkan kerusakan habitat yang parah di wilayah pegunungan ini. Tanah longsor menjadi lebih sering terjadi, hutan semakin menyusut, dan kualitas tanah serta air ikut menurun. Eksploitasi ini mengganggu keseimbangan ekologis dan memperparah dampak perubahan iklim.

🐅 Perdagangan Satwa Liar dan Ancaman terhadap Keanekaragaman Hayati

Himalaya adalah rumah bagi banyak spesies langka seperti macan tutul salju, beruang Himalaya, dan badak bercula satu. Namun, pasar gelap satwa liar telah menjadi ancaman serius. Perburuan dan perdagangan ilegal mendorong hewan-hewan tersebut ke ambang kepunahan. Hilangnya satu spesies bisa berdampak besar terhadap rantai ekosistem di kawasan yang sudah sangat rentan ini.

🏗️ Pembangunan Tak Berkelanjutan

Tekanan penduduk, ekspansi permukiman, dan pembangunan infrastruktur—termasuk jalan, bendungan, dan jalur wisata—tanpa kajian lingkungan yang memadai, telah mempercepat degradasi ekosistem Himalaya. Pembangunan yang tidak ramah lingkungan juga memperbesar potensi bencana alam di kawasan rawan gempa dan tanah longsor ini.


Mengapa Kita Harus Peduli?

Himalaya bukan sekadar pegunungan tinggi. Ia adalah penyimpan air raksasa, penyeimbang iklim, penjaga keanekaragaman hayati, dan penopang kehidupan miliaran manusia di Asia. Jika ekosistem Himalaya runtuh, dampaknya akan terasa jauh melampaui lereng-lerengnya—hingga ke kota-kota besar, lahan pertanian, dan pesisir di seluruh Asia. Melindungi kawasan ini berarti menjaga masa depan lingkungan, ekonomi, dan kehidupan manusia. 

Minggu, 06 Juli 2025

Tanaman-Tanaman Tangguh dari Death Valley: Cara Alam Mengajarkan Ketahanan

Alex Citra 2025

Coba deh kamu bayangin suatu tempat di mana suhu bisa tembus 56°C, hujan jarang turun, dan tanahnya begitu gersang sampai terlihat seperti planet lain. Tempat itu nyata, dan namanya Death Valley—lembah neraka di perbatasan California–Nevada, salah satu tempat paling panas dan paling kering di Bumi.

Death Valley

Tapi yang menarik: di balik kerasnya lanskap itu, alam tetap melahirkan kehidupan. Tanaman-tanaman kecil, tenang, dan hampir tak terlihat, justru jadi simbol daya tahan yang luar biasa. Mereka bukan superhero botani. Tapi mereka tahu caranya hidup, di tempat di mana kehidupan seolah nggak mungkin.

🌿 1. Desert Holly – Sang Pemantul Panas

Tanaman bernama Desert Holly (Atriplex hymenelytra) punya daun keperakan yang memantulkan sinar matahari—kayak punya tameng alami dari panas gurun. Ia tumbuh di tanah penuh garam, tempat kebanyakan tanaman lain bakal menyerah. Tapi dia justru bisa bertahan, bahkan menyaring garam lewat daunnya supaya tetap bisa menyerap air.


Pelajaran apa yang bisa kita petik ? Kadang bertahan bukan soal menghindari panas, tapi soal punya cara cerdas buat menghadapinya. Kita juga begitu—kadang hidup gak bisa dihindari, tapi bisa kita akali.


🌸 2. Desert Sunflower – Si Penunggu Hujan

Kalau kamu beruntung mengunjungi Death Valley setelah hujan langka turun, kamu akan melihat padang gurun yang tadinya tandus berubah menjadi lautan bunga kuning cerah: Desert Sunflower (Geraea canescens). Bunga ini cuma muncul di saat tertentu, tumbuh cepat, berbunga, lalu layu. Tapi dia meninggalkan benih yang bisa tidur selama bertahun-tahun, menunggu hujan berikutnya.


Pelajaran apa yang bisa kita petik ? Kadang kita harus tahu kapan waktunya diam, dan kapan waktunya mekar. Nggak harus selalu aktif. Yang penting: siap saat kesempatan datang.


🪨 3. Rocklady – Si Ahli Celah Batu

Tanaman ini langka banget. Namanya Holmgrenanthe petrophila, atau "Rocklady." Ia tumbuh di celah-celah sempit batuan Titus Canyon, jauh dari pandangan mata. Akarnya menghunjam masuk ke batu, menyerap air sedikit demi sedikit. Ia memilih tempat terpencil, tapi di situlah ia bertahan dari panas dan angin liar.


Pelajaran apa yang bisa kita petik ? Kita nggak harus selalu jadi pusat perhatian untuk bertahan. Kadang, di suatu celah sempit dan sunyi justru bisa menjadi tempat paling aman buat kamu tumbuh.


💡 Gurun pun Mengajarkan: Bertahan itu Seni

Tanaman-tanaman Death Valley bukan sekadar flora liar. Mereka adalah pengingat hidup bahwa bertahan tidak selalu berarti kuat secara fisik. Tapi pintar membaca waktu. Tahu kapan harus mundur. Paham kapan harus menunggu. Dan tahu cara menyimpan energi buat saat yang tepat.

Hidup di dunia yang makin ekstrem ini, kita pun ditantang seperti tanaman-tanaman gurun:
Bisa nggak kita tetap tumbuh, bahkan saat keadaan terasa mustahil?


🌵 Karena bahkan di tempat yang bernama Death Valley, kehidupan tetap memilih untuk ada.
Dan itulah seharusnya cukup jadi alasan buat kita sebagai manusia supaya nggak gampang menyerah.


Resurrection Plant: Tanaman Gurun dengan "Cheat Code" Hidup Kembali

Di tengah kerasnya gurun Meksiko dan Texas, ada satu tanaman yang kelihatannya sudah mati total—kering kerontang, menggulung seperti bola, dan warnanya cokelat kusam seperti remah daun gosong. Tapi begitu setetes air menyentuhnya, tanaman ini perlahan membuka diri, daunnya menghijau kembali, dan seakan-akan hidup dari kematian.


Namanya resurrection plant, alias Selaginella lepidophylla.

Asal-usul Sang Tanaman "Kebangkitan"

Resurrection plant berasal dari kawasan gurun di Amerika Utara, terutama di wilayah Chihuahua, Meksiko, dan sebagian Texas barat. Habitat ini terkenal sangat kering, dengan suhu ekstrem dan hampir tidak ada hujan sepanjang tahun. Di lingkungan yang tampaknya tak ramah bagi kehidupan, Selaginella lepidophylla justru menunjukkan adaptasi luar biasa.

Ketika lingkungan menjadi terlalu kering, tanaman ini tidak mati. Ia hanya pause. Ia melipat daunnya ke dalam, menggulung rapat seperti bola, dan menghentikan seluruh proses fotosintesis. Ini adalah bentuk perlindungan untuk menjaga jaringan sel tetap utuh selama masa kekeringan.

Mekanisme "Bangkit dari Mati"

Fenomena ini disebut poikilohidri—kemampuan untuk kehilangan hampir seluruh air tubuhnya (hingga 95%) dan tetap hidup. Tanaman ini bisa tetap berada dalam kondisi kering selama bertahun-tahun. Namun, saat air tersedia, misalnya karena hujan atau disiram, resurrection plant menyerap air dengan cepat dan dalam hitungan jam akan terbuka serta kembali melakukan fotosintesis seperti biasa.

Sistem selulernya memiliki protein khusus dan struktur yang memungkinkan dinding sel tetap fleksibel walau kering, dan kembali ke bentuk semula saat terhidrasi.

Survival Mode Level Dewa

Bisa dibilang, resurrection plant punya cheat code untuk bertahan di alam liar. Ia mengajarkan pelajaran penting: bertahan hidup bukan cuma soal menjadi kuat, tapi soal menjadi adaptif. Dalam dunia yang makin ekstrem akibat perubahan iklim, adaptasi seperti ini adalah kunci untuk terus bertahan.

Resurrection plant bukan satu-satunya yang punya kemampuan unik ini. Ada pula Anastatica hierochuntica dari Timur Tengah dan Craterostigma plantagineum dari Afrika yang punya teknik bertahan serupa. Tapi Selaginella lepidophylla tetap jadi ikon utama tanaman "kebangkitan" karena keindahan transformasinya yang begitu dramatis.

Yang pasti, resurrection plant itu kaya bisikan halus dari alam:
"Kalau kita bisa kuat untuk bertahan di masa yang paling kering, kita juga pasti bisa mekar lagi—asal ada sedikit harapan (dan setetes air).”

Tardigrade: Makhluk Mikro dengan Skill Dewa

Alex Citra 2025


Bayangin ada makhluk kecil, ukurannya cuma 0,5 milimeter, bentuknya kayak beruang gemoy pakai kostum spon. Tapi jangan tertipu sama tampilannya yang lucu—tardigrade, alias beruang air, adalah salah satu makhluk paling tahan banting di planet ini.

Kena suhu mendidih? Santai. Dibekukan sampai -200°C? Masih bisa ngopi. Dimasukin ke ruang hampa udara luar angkasa? Dia malah selfie. Radiasi? Racun? Kekeringan? Semua dilewatin kayak ujian kelas 6 SD.

Hewan tahan banting, Tardigrade. (Dok. Rukanoga - Stock Adobe, From UNC College of Arts and Sciences-Chapel Hill)

Lho kok bisa? Rahasianya ada di cryptobiosis, semacam mode “mati suri ekstrem”. Saat kondisi lingkungan gila-gilaan, dia bakal nutup semua fungsi hidupnya, kering kayak remah kerupuk, dan masuk mode “pause”. Dalam mode ini, metabolisme dia nyaris nol, air tubuhnya lenyap, dan DNA-nya dibungkus protein pelindung yang mencegah kerusakan. Begitu kondisi balik normal? Dia bangkit, kayak nggak pernah ngilang.

Tardigrade alias beruang air pertama kali ditemukan oleh seorang pastor dan ahli zoologi asal Jerman bernama Johann August Ephraim Goeze pada tahun 1773. Nama ilmiahnya kemudian diberi oleh Lazzaro Spallanzani, ilmuwan asal Italia, yang menamainya Tardigrada, yang artinya “bergerak lambat” dalam bahasa Latin.

Asalnya dari mana?

Tardigrade nggak berasal dari satu tempat khusus—mereka adalah makhluk kosmopolitan, alias bisa ditemukan di mana-mana:

  • Di lumut dan lichen (tempat favorit mereka)

  • Di tanah, pasir pantai, daun-daun mati

  • Di air tawar, danau, laut dalam, bahkan es kutub

  • Di puncak gunung kayak Himalaya, sampai palung laut terdalam

  • Bahkan pernah ditemukan di stasiun luar angkasa, dan masih hidup setelah eksperimen!

Jadi walaupun ukurannya kecil banget, mereka adalah warga dunia sejati—makhluk mungil tangguh yang bisa hidup dari kamar mandi lo sampai ke luar angkasa.

Para ilmuwan udah lama kepincut. Gen spesial tardigrade sedang dipelajari buat bikin vaksin lebih tahan lama, melindungi organ untuk transplantasi, bahkan bikin astronot masa depan bisa tahan di Mars.

Dari makhluk mungil ini, kita belajar satu hal penting:

Kadang kunci bertahan bukan jadi paling kuat, tapi paling adaptif. Kadang, lo cuma perlu tahu kapan harus nge-pause—dan kapan waktunya bangkit.

Non Multa Sed Multum - Sedikit Tapi Bermakna

Alex Citra 2025

Di tengah dunia yang bergerak cepat dan penuh distraksi, kita sering terjebak dalam ilusi produktivitas. Kita bangga ketika to-do list panjang berhasil dicoret satu per satu. Kita merasa hebat ketika bisa mengikuti banyak webinar, membaca sekilas banyak buku, atau multitasking sepanjang hari. Tapi apakah semua itu benar-benar bermakna?

Di sinilah pentingnya kembali ke prinsip bijak dari bahasa Latin kuno:

Non multa sed multumbukan banyaknya, tetapi mendalam.

🔍 Makna di Balik Frasa

Frasa ini bukan sekadar kutipan indah. Prinsip ini mengajarkan kita untuk:

  • Fokus pada kualitas daripada kuantitas

  • Menekuni sesuatu secara mendalam, bukan sekilas atau setengah hati

  • Memilih yang penting, bukan yang ramai

Misalnya, membaca satu buku dengan penuh perhatian, merenunginya, dan menerapkannya dalam hidup kita seringkali jauh lebih berguna daripada membaca sepuluh buku secara terburu-buru tanpa pemahaman.

📚 Dalam Dunia Pendidikan

Di dunia pendidikan saat ini, prinsip ini sangat relevan. Pelajar atau mahasiswa sering merasa harus menguasai “banyak” hal demi ujian atau nilai. Padahal, pemahaman mendalam atas konsep inti akan jauh lebih bertahan lama dan membentuk cara berpikir kritis yang sesungguhnya.

Guru pun lebih baik menyampaikan satu ide besar yang diolah secara mendalam daripada mencoba menyampaikan sepuluh topik dalam waktu terbatas. 

💼 Dalam Dunia Kerja dan Hidup Pribadi

Dalam pekerjaan, kita sering merasa harus menyelesaikan sebanyak mungkin tugas. Namun, menyelesaikan satu proyek dengan penuh dedikasi dan dampak besar akan lebih dihargai dibanding serangkaian pekerjaan kecil yang dikerjakan sekadar menggugurkan kewajiban.

Dalam relasi pun begitu — lebih baik punya sedikit teman yang benar-benar dekat, daripada ratusan koneksi yang terkadang hanya sekadar basa-basi. Misalnya merasa hebat ketika terkenal di tongkrongan padahal belum tentu teman-teman di tempat tersebut mendukung hasil studimu, bisa jadi malah merusak masa depanmu. Bahkan mungkin bisa jadi tak ada satu pun dari teman tongkrongan yang benar-benar mengenal isi hatimu.

Ketika saya tinggal di kota Bogor, saya pernah ikut suatu pelatihan menulis yang berlangsung selama tiga hari. Narasumbernya keren karena merupakan wartawan dari sebuah koran yang ternama, materinya powerpointnya padat, jumlah pesertanya ratusan. Tapi anehnya, setelah pelatihan selesai, saya lupa semua materi yang disampaikan.

Lalu beberapa bulan kemudian, saya kembali ikut kelas kecil, namun kali ini hanya lima orang, dengan seorang mentor yang lebih sederhana. Ia hanya membahas satu hal: “menulis dengan jujur.” Dalam pelatihan itu kami tidak banyak mencatat. Kami lebih banyak diam, mendengarkan, dan saling membaca tulisan masing-masing. Yang mengejutkan, satu kalimat dari mentor itu masih saya ingat sampai sekarang:

“Tulisan yang baik bukan yang pintar, selain enak dibaca juga yang membuat pembacanya merasa ditemani.”

Itu mengubah cara saya menulis. Satu kalimat itu lebih membekas daripada tiga hari pelatihan yang penuh slide dan materi. Dan dari situ saya benar-benar paham arti non multa sed multum — bukan banyak, tapi mendalam.

🌱 Hidup yang Sederhana Tapi Bermakna

Non multa sed multum adalah ajakan untuk hidup dengan niat, bukan sekadar adu kecepatan. Ia mengingatkan kita saat hidup untuk mampu:

  • Menyaring yang penting

  • Mendalami yang bermakna

  • Meninggalkan kebisingan demi ketenangan


“Bukan banyaknya yang perlu kamu kejar. Tapi sedikit saja namun benar-benar layak dikejar.”

Keragaman Hayati Jakarta dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya

Kota Jakarta, sebagai pusat ekonomi dan pemerintahan Indonesia, tidak hanya menyimpan dinamika sosial dan pembangunan yang kompleks, tetapi ...

Chiba University, Japan

Chiba University, Japan