Hutan merupakan penopang utama keseimbangan lingkungan dan kehidupan manusia. Ia berfungsi sebagai penyerap karbon, pengatur tata air, pelindung tanah, serta habitat bagi keanekaragaman hayati. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, hutan di Indonesia mengalami kerusakan masif akibat konversi lahan dalam berbagai bentuk. Alih-alih membawa kesejahteraan berkelanjutan, praktik ini justru menimbulkan penderitaan ekologis dan sosial yang luas.
Salah satu penyebab utama kerusakan hutan adalah konversi hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit. Di wilayah Sumatra (Riau, Jambi, Sumatra Selatan) dan Kalimantan (Kalimantan Barat dan Tengah), hutan primer dan hutan gambut dibuka secara besar-besaran untuk ekspansi sawit. Proses pembukaan lahan, yang sering kali melibatkan pembakaran, menyebabkan hilangnya tutupan hutan, degradasi gambut, serta meningkatnya risiko kebakaran hutan dan kabut asap. Dampaknya tidak hanya dirasakan secara lokal, tetapi juga regional hingga lintas negara.
Selain sawit, kerusakan hutan juga terjadi akibat pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI), terutama untuk bahan baku kertas dan pulp. Di Riau dan Sumatra Selatan, hutan alam digantikan oleh tanaman monokultur seperti akasia dan eucalyptus. Meskipun disebut sebagai “hutan”, HTI tidak mampu menggantikan fungsi ekologis hutan alam. Keanekaragaman hayati menurun drastis, siklus air terganggu, dan konflik lahan dengan masyarakat sekitar kerap terjadi.
Di wilayah Papua, ancaman kerusakan hutan semakin nyata akibat konversi lahan untuk perkebunan skala besar, proyek pangan (food estate), serta pembangunan infrastruktur. Hutan hujan tropis Papua yang kaya biodiversitas dan menjadi ruang hidup masyarakat adat mulai terfragmentasi. Konversi ini tidak hanya menghilangkan tutupan hutan, tetapi juga merusak sistem sosial-budaya masyarakat adat yang bergantung langsung pada hutan sebagai sumber pangan, obat-obatan, dan identitas budaya.
Kerusakan hutan juga dipicu oleh perluasan permukiman dan kawasan perkotaan, terutama di Pulau Jawa dan daerah penyangga kota besar. Hutan dan kawasan resapan air dialihfungsikan menjadi perumahan, kawasan industri, dan infrastruktur transportasi. Akibatnya, daya serap air tanah menurun dan risiko banjir serta longsor meningkat, sebagaimana sering terjadi di wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Selain itu, pertambangan—baik batu bara di Kalimantan maupun nikel di Sulawesi—menjadi faktor penting lain dalam degradasi hutan. Aktivitas tambang membuka lahan secara masif, merusak struktur tanah, serta mencemari sungai dan lingkungan sekitar. Setelah sumber daya habis, banyak area bekas tambang yang tidak direklamasi dengan baik, meninggalkan kerusakan ekologis jangka panjang.
Berbagai bentuk konversi lahan tersebut menunjukkan bahwa kerusakan hutan bukanlah proses alami, melainkan hasil dari pilihan kebijakan dan aktivitas manusia. Dampaknya terlihat jelas dalam meningkatnya bencana banjir, tanah longsor, krisis air bersih, serta memburuknya kualitas lingkungan hidup. Lebih jauh lagi, kerusakan hutan memperparah krisis iklim global karena berkurangnya kemampuan hutan menyerap emisi karbon.
Oleh karena itu, pembangunan perlu didefinisikan ulang. Kemajuan seharusnya tidak diukur semata-mata dari pertumbuhan ekonomi atau luas wilayah yang dibangun, melainkan dari kemampuan menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kelestarian alam. Tanpa perlindungan hutan yang serius dan pengelolaan lahan yang berkelanjutan, konversi hutan akan terus melahirkan penderitaan—bagi bumi dan bagi manusia itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.