Dilihat dari sejarahnya, kota pada hakikatnya lahir dan berkembang dari suatu wilayah pedesaan. Akibat tingginya pertumbuhan penduduk yang diikutioleh meningkatnya kebutuhan (pangan, sandang, dan perumahan) dan pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) ciptaan manusia, maka bermunculan pemukiman-pemukiman baru.
Selanjutnya, akan diikuti oleh fasilitas-fasilitas sosial seperti pasar, pertokoan, rumah sakit, perkantoran, sekolah, tempat hiburan, jalan-jalan raya, terminal, industri, dan sebagainya, hingga terbentuklah suatu wilayah kota. Mengingat lengkapnya fasilitas-fasilitas sosial yang dimiliki, maka kota merupakan daya tarik bagi penduduk yang tinggal di desa untuk berdatangan, bahkan sebagian di antaranya tinggal di wilayah kota.
Kota dapat dipandang sebagai suatu wilayah di permukaan bumi yang sebagian besar arealnya terdiri atas benda-benda hasil rekayasa dan budaya manusia, serta tempat pemusatan penduduk yang tinggi dengan sumber mata pencaharian di luar sektor pertanian. Pengertian tersebut juga berarti suatu kota dicirikan oleh adanya prasarana perkotaan, seperti bangunan yang besarbesar bagi pemerintahan, rumah sakit, sekolah, pasar, taman dan alun-alun yang luas serta jalan aspal yang lebar-lebar.
- Untuk lebih memahami pengertian kota, perhatikan beberapa definisi kota menurut pandangan para ahli. Menurut R. Bintarto, kota adalah sebuah bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alamiah dan non alami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistis dibandingkan dengan daerah belakangnya.
- Pendapat ahli lainnya seperti yang dikemukakan Dickinson, kota adalah suatu pemukiman yang bangunan rumahnya rapat dan penduduknya bernafkah bukan pertanian.
- Adapun Ray Northam, R., menyebutkan bahwa kota adalah suatu lokasi yang kepadatan penduduknya lebih tinggi dibandingkan dengan populasi, sebagian besar penduduk tidak bergantung pada sektor pertanian atau aktivitas ekonomi primer lainnya, dan sebagai pusat kebudayaan, administratif, dan ekonomi bagi wilayah di sekitarnya.
- Selanjutnya, Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1980 menyebutkan bahwa kota dapat dibagi ke dalam dua pengertian.
- Pertama, kota sebagai suatu wadah yang memiliki batasan administratif sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.
- Kedua, kota sebagai suatu lingkungan kehidupan perkotaan yang mempunyai ciri non agraris, misalnya ibukota kabupaten, ibukota kecamatan, dan berfungsi sebagai pusat pertumbuhan dan pemukiman.
- Misalnya: pusat industri, baik industri besar sampai industri kecil; pusat perdagangan, mulai dari pasar tradisional sampai pasar regional, dan pusat pertokoan; pusat sektor jasa dan pelayanan masyarakat seperti rumah sakit, pusat pendidikan, pusat pemerintahan, pusat hiburan dan rekreasi, dan sebagainya.
- Semua itu ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kota itu sendiri dan daerah-daerah di sekitarnya. Karena lengkapnya fasilitas yang disediakan oleh kota, menjadikannya sebagai tempat pemusatan penduduk. Sehingga dalam kehidupan sehari-harinya, kota sangat sibuk dan merupakan suatu kompleksitas yang khusus.
Berbicara tentang kota sebagai pusat kegiatan, ada yang dinamakan inti kota atau pusat kota (core of city) yang merupakan pusat dari kegiatan ekonomi, kegiatan politik, kegiatan pendidikan, kegiatan pemerintahan, kegiatan kebudayaan, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Karena itu, daerah seperti ini dinamakan Pusat Daerah Kegiatan (PDK) atau Central Business Districts (CBD). PDK berkembang dari waktu ke waktu, sehingga meluas ke arah daerah di luarnya, daerah ini disebut Selaput Inti Kota (SIK).
Adapun jenis kegiatan ekonomi di kota pada dasarnya terdiri atas:
- kegiatan ekonomi dasar (basic activities) yang membuat dan menyalurkan barang dan jasa untuk keperluan luar kota atau ekspor. Barang dan jasa tersebut berasal dari industri, perdagangan, rekreasi, dan sebagainya.
- kegiatan ekonomi bukan dasar (non basic activities) yang memproduksi dan mendistribusi barang dan jasa untuk keperluan penduduk kota sendiri.
- ketersediaan ruang di dalam kota;
- jenis-jenis kebutuhan dari warga kota;
- tingkat teknologi yang diserap;
- perencanaan kota;
- faktor-faktor geografi setempat.
Mengingat fungsi kota sebagai pusat dari segala kegiatan manusia dan suatu kompleksitas khusus, maka penataan ruangnya selain harus tersedia juga harus melalui suatu perencanaan yang matang agar pertumbuhan dan perkembangannya teratur, tidak semrawut, dan tidak menimbulkan permasalahan pada kemudian hari. Penataan ruang kota yang baik, harus didasarkan pada kondisi fisik setempat, pemerintah kota sebagai pengatur kebijakan, dan tingkat perekonomian serta kebutuhan penduduk terhadap fasilitas kota.
A. Fasilitas-fasilitas yang harus ada dalam tata ruang kota antara lain:
- untuk perkantoran, pemukiman, pendidikan, pasar, pertokoan, bioskop, rumah sakit, dan sebagainya;
- untuk jalur-jalur jalan yang menghubungkan kota dengan tempat-tempat lain di luarnya berupa jalan kabupaten, jalan provinsi dan jalur-jalur jalan dalam kota yang berfungsi seperti urat nadi dalam tubuh manusia yaitu mensuplai segala kebutuhan ke setiap sudut kota;
- taman-taman kota, alun-alun, taman olah raga, taman bermain dan rekreasi keluarga;
- areal parkir yang luas dan memadai.
- Faktor alamiah yang mempengaruhi perkembangan kota antara lain lokasi, fisiografi, iklim, dan kekayaan alam yang terkandung di daerah tersebut.
- Faktor sosial di antaranya kondisi penduduk dan fasilitas sosial yang ada. Adapun kebijakan pemerintah menyangkut penentuan lokasi kota dan pola tata guna lahan di wilayah perkotaan tersebut.
Kota yang memiliki bentuk morfologi dataran memungkinkan perkembangan yang lebih cepat dibandingkan kota yang berada di daerah perbukitan. Pemerintah sebagai pengambil kebijakan dalam membuat aturan penggunaan lahan, mana kawasan yang boleh dan tidak boleh dikembangkan. Semakin tinggi tingkat ekonomi dan kebutuhan warga kota akan fasilitas kota, maka semakin beragam penggunaan tanah di kota.Kenampakan penggunaan ruang perkotaan adalah keanekaragaman fungsi tanah/lahan sebagai cerminan dari keanekaragaman kebutuhan warga kota terhadap berbagai jenis fasilitas kehidupan. Penggunaan tanah/lahan akan menjadi salah satu karakter kota, sebagai hasil perpaduan antara kondisi fisik seperti topografi, morfologi, hidrografi, dan kondisi sosial seperti sejarah, ekonomi warga kota, budaya, pemerintah dan keterbukaan kota terhadap daerah lainnya. Segmentasi ruang dalam kota sangat tergantung pada: lokasi kota, karakteristik fisik, kebijakan penggunaan lahan, dan kondisi sosial ekonomi penduduk.
Penggunaan tanah/lahan di kota, umumnya dapat dilihat dari kenampakan-kenampakan yang ada. Karena kota merupakan pusat dari segala kegiatan manusia, maka penggunaan tanahnya jauh lebih beragam (heterogen) dibandingkan dengan di desa.
Semua kegiatan ekonomi kota memerlukan lahan. Dengan demikian, sebagian besar dari lahan di kota digunakan untuk kegiatan industri dan jasa, di samping untuk tempat tinggal. Berhubungan dengan hal tersebut, fungsi kota ialah sebagai pusat pelayanan (misalnya perdagangan) dan industri. Kegiatan industri yang ada di perkotaan meliputi: Industri besar, industri menengah, dan industri kecil (home industries).
Lahan yang digunakan untuk industri antara lain dimanfaatkan sebagai tempat bekerja (pabrik), gudang, rumah karyawan, dan lain-lain.
Struktur ruang kota dapat diukur berdasarkan kerapatan bruto dan kerapatan netto.
- Kerapatan bruto bagi industri ialah ukuran yang meliputi bangunan gudang, tempat parkir, tempat bongkar muat, rel kereta api dan jalan di dalam kawasan pabrik, ruang terbuka (taman), ruang yang belum terpakai, dan sebagainya.
- Adapun kerapatan netto bagi industri ialah ukuranyang hanya meliputi bangunan pabrik, gudang, tempat parkir, dan tempat bongkar muat saja. Kedua ukuran ini digunakan untuk menganalisis penggunaan tanah yang sedang berlaku; untuk perencanaan, akan lebih mudah jika hanya digunakan kerapatan bruto yaitu untuk tanah yang kosong. Sebagai contoh, standar luas (netto) untuk kegiatan industri umumnya di Amerika Serikat sekitar 47 - 75 orang per hektar, dan di Inggris 75 orang per hektar (Chapin, 1972).
Adanya berbagai fasilitas dan beragamnya aktivitas masyarakat kota, telah membentuk struktur kota yang berbeda dengan struktur di desa. Menurut Johara (1986), segala yang dibangun di daerah kota, baik oleh alam seperti bukit, gunung dan sebagainya, maupun oleh manusia seperti gedung-gedung, rumah, pabrik dan sebagainya, biasanya semua yang tersembul dari permukaan bumi dianggap sebagai suatu struktur ruang kota. Struktur ruang wilayah perkotaan, baik di negara kita maupun di negara-negara lain, ternyata memperlihatkan bentuk-bentuk tertentu.
- Contohnya di Indonesia khususnya di Pulau Jawa, hampir semua kota di pusatnya selalu ada alun-alun, masjid agung, penjara, pamong praja atau kantor pemerintahan, dan pertokotaan.
- Perkembangan kota dapat dipengaruhi oleh berbagai rintangan alam seperti pegunungan, perbukitan, lembah sungai, dan lain-lain, dalam perkembangannya akan selalu menyesuaikan diri dengan keberadaan fisik wilayahnya sehingga kota berbentuk tidak teratur dan menimbulkan kesan sebagai kota yang tidak terencana.
B. Beberapa Teori Struktur Kota (Yunus, 2006):
Banyak para ahli telah berusaha mengadakan penelitian mengenai struktur ruang kota yang ideal. Di antaranya ialah teori memusat (konsentris) menurut Ernest W. Burgess (1929) yang meneliti struktur kota Chicago. Teori konsentris menyatakan bahwa daerah yang memiliki ciri kota dapat dibagi dalam lima zone, sebagai berikut:
- Zone pusat daerah kegiatan (PDK/CBD), terdapat pusat pertokoan besar (Dept. Store), gedung perkantoran yang bertingkat, bank, museum, hotel, restoran, dan sebagainya.
- Zone peralihan atau zone transisi, merupakan daerah yang terikat dengan pusat daerah kegiatan. Penduduk zone ini tidak stabil, baik dilihat dari tempat tinggal maupun sosial ekonominya. Dikategorikan sebagai daerah berpenduduk miskin. Dalam rencana pengembangan kota, daerah ini diubah menjadi lebih baik untuk komplek industri manufaktur, perhotelan, tempat parkir, gudang, apartemen, dan jalan-jalan utama yang menghubungkan inti kota dengan daerah luarnya. Pada daerah ini juga sering ditemui daerah slum atau daerah pemukiman penduduk yang kumuh.
- Zone permukiman kelas proletar, perumahannya sedikit lebih baik. Didiami oleh para pekerja yang berpenghasilan kecil atau buruh dan karyawan kelas bawah, ditandai oleh adanya rumah-rumah kecil yang kurang menarik dan rumah-rumah susun sederhana yang dihuni oleh keluarga besar. Burgess menamakan daerah ini sebagai workingmen’s homes.
- Zone pemukiman kelas menengah (residential zone), merupakan komplek perumahan para karyawan kelas menengah yang memiliki keahlian tertentu. Rumah-rumahnya lebih baik dibandingkan daerah kelas ploretar.
- Zone penglaju (commuters), merupakan daerah yang memasuki daerah belakang (hinterland) atau merupakan daerah batas desa-kota. Penduduknya bekerja di kota dan tinggal di pinggiran kota.
Model konsentrik jarang terjadi secara ideal. Adapun model yang paling
mendekati terhadap struktur ini adalah kota-kota pelabuhan di negara barat
seperti kota Chicago, Calcuta, Adelaide, dan Amsterdam.
2. Teori Sektoral
Selain teori konsentris, juga terdapat teori sektoral (sector theory) yang dikemukakan oleh Homer Hoyt (1930). Menurut teori ini, struktur ruang kota cenderung lebih
berkembang berdasarkan sektor-sektor daripada berdasarkan lingkaran-lingkaran
konsentrik. PDK atau CBD terletak di pusat kota, namun pada bagian lainnya
berkembang menurut sektor-sektor yang bentuknya menyerupai irisan kue
bolu. Hal ini dapat terjadi akibat faktor geografi seperti bentuk lahan dan
pengembangan jalan sebagai sarana komunikasi dan transportasi.
Menurut Homer Hoyt, kota tersusun sebagai berikut:
- pada lingkaran dalam terletak pusat kota (CBD) yang terdiri atas: bangunanbangunan kantor, hotel, bank, bioskop, pasar dan pusat perbelanjaan;
- pada sektor tertentu terdapat kawasan industri ringan dan perdagangan;
- dekat pusat kota dan dekat sektor di atas, yaitu bagian sebelahmenyebelahnya terdapat sektor murbawisma, yaitu tempat tinggal kaum murba atau kaum buruh;
- agak jauh dari pusat kota dan sektor industri serta perdagangan, terletak sektor madyawisma;
- lebih jauh lagi terdapat sektor adiwisma, yaitu kawasan tempat tinggal golongan atas.
3. Teori Inti Berganda (multiple nuclei)
Teori lainnya mengenai struktur ruang kota ialah Teori Inti Berganda
(multiple nuclei) dari C.D Harris dan E.L. Ullman (1945). Teori ini merupakan
bentuk kritikan terhadap teori konsentrik Burgess. Menurut C.D. Harris dan E.L. Ullman, struktur ruang kota tidaklah sesederhana dalam teori konsentris
karena sebenarnya tidak ada urutan-urutan yang teratur. Dapat terjadi, dalam
suatu kota terdapat tempat-tempat tertentu yang berfungsi sebagai inti kota
dan pusat pertumbuhan baru. Keadaan tersebut telah menyebabkan adanya
beberapa inti dalam suatu wilayah perkotaan, misalnya: komplek atau wilayah
perindustrian, pelabuhan, komplek perguruan tinggi, dan kota-kota kecil di
sekitar kota besar.
Struktur ruang kota menurut teori inti berganda, yaitu sebagai berikut:
- pusat kota atau CBD;
- kawasan niaga dan industri ringan;
- kawasan murbawisma, tempat tinggal berkualitas rendah;
- kawasan madyawisma, tempat tinggal berkualitas menengah;
- kawasan adiwisma, tempat tinggal berkualitas tinggi;
- pusat industri berat;
- pusat niaga/perbelanjaan lain di pinggiran;
- kawasan pemukiman madyawisma dan adiwisma;
- suburb kawasan industri.
Pada intinya teori-teori ini hanya merupakan usaha
pendekatan akademis terhadap proses dan pola perkembangan daerah kekotaan.
Baca: Klasifikasi Kota, Pola Perkembangan, dan Tahapannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.